Berbagai Alasan Penginisiasi RUU Ketahanan Keluarga

Jakarta, era.id - Tak hanya isu Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja, polemik RUU Ketahanan Keluarga juga membuat gaduh lantaran pemerintah dinilai terlalu mencampuri ranah privat warganya.

Bukan tanpa sebab publik menilai RUU Ketahanan Keluarga ini 'absurd'. Sebabnya, di dalam draf RUU tersebut tercantum beberapa pasal yang dianggap terlalu mencampuri urusan 'dapur' dan 'ranjang' warga negara, apalagi sampai diberikan sanksi pidana jika melanggarnya.

Contohnya, soal kewajiban istri, melarang donor sperma dan ovum, melarang sewa rahim atau surogasi, hingga wajib melaporan tentang adanya penyimpangan seksual dan penyimpangan aktivitas seksual di dalam keluarga. Hal-hal tersebut diatur dalam 146 pasal RUU Ketahanan Keluarga.

RUU Ketahanan Keluarga ini sendiri sudah masuk dalam daftar Prioritas Legislasi Nasional (Prolegnas). Saat ini, RUU tersebut sudah masuk tahap penysusunan dan harmonisasi di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI.

Sementara pengusulnya ada lima orang anggota DPR lintas fraksi, yaitu Ledia Hanifa dan Netty Prasetiyani dari Fraksi PKS, Sodik Mudjahid dari Gerindra, Endang Maria Astuti dari Golkar, dan Ali Taher dari PAN.

Lalu apa yang melatar belakangi mereka membuat RUU seabsurd ini? Apakah benar mereka paham dengan isi drafnya? Bagaimana mereka menampik tudingan miring dari publik?

Belum Baca Isi Draf RUU Ketahanan Keluarga

Sebagai penginisiasi, seharusnya kelima inisiator RUU Ketahanan Keluarga ini adalah orang-orang yang paling paham dengan isi di dalamnya. Namun, saat dikonformasi, dua orang diantaranya justru mengaku belum baca isi draf RUU berisi 15 bab tersebut.

Ketua DPP Partai Golkar Ace Hasan Syadzily mengungkapkan bahwa anggota DPR RI Endang Maria, salah satu penginisiasi RUU Ketahanan Keluarga dari Fraksi Golkar, mengaku belum membaca isinya.

"Justru Bu Endangnya sendiri katanya belum membaca secara secara keseluruhan RUU Ketahanan Keluarga. Kami telah mengklarifikasi kepada Bu Endang soal RUU Ketahanan Keluarga itu," ujar Ace saat dikonfirmasi, Kamis (20/2/2020).

Penyakit masyarakat seperti tingginya kasus penggunaan narkoba, pemerkosaan, hingga kekerasan dalam rumah tangga disepakati oleh para penginisiasi sebagai dasar mereka membentuk RUU Ketahanan Keluarga.

Mereka sepakat bahwa masalah-masalah tersebut harus dibereskan dari tingakatan paling dasar, yaitu keluarga. Oleh karena itu, mereka menganggap negara perlu mengaturnya.

"Solusi utamanya pencegahan yang paling baik harus dari keluarga. Jika keluarga rapuh, yang terjadi seperti saya uraikan di atas," tutur Endang Maria saat dihubungi, Kamis (21/2).

Menurut Endang, keluarga adalah kunci utama mewujudkan cita-cita menciptakan SDM yang unggul. "SDM unggul harus diawali dari keluarga dan bagaimana keluarga tidak rapuh. Itu sebagai PR-nya," katanya.

Sementara pengusul lainnya, Netty Prasetiyani dari Fraksi PKS, menampik tak ada isi yang mengatur soal LGBT dan aktivitas sekusual seperti sadisme, dan Masochisme ke dalam RUU usulannya itu.

Dia menjelaskan, semangat dari RUU ini adalah menciptakan keluarga ideal untuk mewujudkan peradaban Indonesia yang lebih sejahtera. “Enggak ada (soal LGBT dan BDSM),” ujar Netty saat ditemui di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (18/2).

Netty menjelaskan, semangat dari RUU ini adalah menciptakan keluarga ideal untuk mewujudkan peradaban Indonesia yang lebih sejahtera.

“Ini hanya bagaimana caranya agar nilai-nilai yang berasal dari jati diri dan indentitas bangsa Indonesia, mulai dari kejujuran, kemandirian, gotong royong, kedisiplan itu menjadi sistem dalam keluarga itu,” ujar Netty.

Kenyataannya, ada dua pasal yaitu Pasal 85 dan 50 yang mengatur soal LGBT dan BDSM ?-walaupun hanya bagian "sadisme", dan "masochisme"--

Monolak Disebut Diskriminasi Gender

Selain mencampuri masalah privat, beberapa pasal dalam RUU Ketahanan Keluarga juga dinilai terlalu mengerdilkan peran perempuan. Hal tersebut bisa dilihat dalam Pasal 23 Ayat 3 tentang Kewajiban Istri.

Salah satu anggota DRP RI pengusul Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga, Ali Taher Parasong membeberkan alasannya terkait banyaknya protes publik terhadap tersebut.

Ali mengatakan maksud dari pasal tersebut untuk menjaga marwah perempuan sebagai ibu yang bertanggung jawab penuh terhadap tumbuh kembang anak.

"Bisa saja perspektif-perspektif itu terjadi. Saya tidak menyalahkan itu. Yang paling penting adalah hak asuh anak intensitas ketemu sosok seorang anak dengan orang tuanya berapa lama sih," kata Ali di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (20/2).

Ali lantas membeberkan fakta versinya yang menyebutkan saat ini banyak anak yang terabaikan karena kesibukan kedua orang tuanya. Akibatnya, intensitas pertemuan ibu dan anak menjadi berkurang.

Meski demikian, Ali mengaku tak melarang seorang perempuan bekerja atau aktivitas lain di luar urusan rumah tangga.

Namun politisi PAN ini tetap menekankan bahwa mengurus anak adalah tanggung jawab penuh seorang ibu. Hal itu merujuk dari Undang-Udang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

"Pengasuh anak di rumah yang menjadi tanggung jawab ibu itu loh undang-undang nomor 1 tahun 1974 terkait dengan persoalan perkawinan hak asasi kepada ibu, Bapak adalah kepala rumah tangga. Ibu adalah ibu rumah tangga. Jelas itu," tegas Ali.

Lebih lanjut, Ali menekankan Pasal 23 Ayat 3 tentang Kewajiban Istri dalam draf RUU Ketahanan Keluarga semata-mata untuk menyelamatkan generasi muda.

Dia mengatakan, jangan lantas hal ini dihubung-hubungkan dengan masalah gender, apalagi sampai dianggap mendiskriminasi perempuan. Sebab menurutnya, kebahagian sebuah keluarga terletak pada peran istri.

"Ibu yang memiliki hak asuh terhadap anak ketika tumbuh kembang. Harus dilihat jangan 'oh itu persoalan gender', enggak ini bukan persoalan gender. Ini persoalan anak," tegasnya.

Sementara Sodik Mudjahid juga berkilah bahwa RUU Ketahanan Keluarga sama sekali tidak mengatur hubungan privasi warga negara. Hanya saja dia menyebut bahwa homoseksual bisa mengganggu masa depan umat manusia, keluarga, dan bangsa jika dibiarkan masif.

“Sekali lagi keluarga adalah lembaga dasar. Semua etika moral perilaku dimulai dari keluarga. Kita harus menguatkan keluarga. Menguatkan mutu keluarga berkualitas, termasuk melindungi keluarga dari hal-hal semacam itu (homoseksual)," katanya di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (18/2).

Lebih lanjut, politisi Gerindra ini menegaskan ada perbedaan pandangan tentang LGBT di Indonesia dan dunia barat. Menurutnya, LGBT tidak sesuai dengan Pancasila dan tidak ada hubunganya dengan mencampuri ranah privasi.

“Mohon maaf, saya kira Pancasila berbeda, mana ukuran privacy dan bangsa. Mungkin di negara barat dianggap urusan pribadi, tapi ketika masuk ke Pancasila, tidak pribadi lagi,” ucapnya.