New Normal, Dokter di RSHS Cemaskan Lonjakan Pasien COVID-19
Situasi tersebut justru bikin para tenaga kesehatan yang bertugas di rumah sakit harap-harap cemas. Pengalaman dokter yang menangani pasien COVID-19 menunjukkan, keramaian masyarakat pada akhirnya berkontribusi pada lonjakan angka kenaikan kasus korona.
Wakil Ketua Tim Infeksi Khusus Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, Dr dr Anggraini Alam, Sp.A (K) menceritakan perbedaan suasana ruang isolasi pasien COVID-19 saat PSBB yang dilakukan secara ketat maupun menuju Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB).
RSHS merupakan rumah sakit pusat rujukan di Jawa Barat. Semua rumah sakit yang ada di provinsi dengan penduduk 50 juta itu merujuk pasien ke RSHS. Lonjakan pasien COVID di RSHS terutama terasa pada Maret 2020.
Hampir di saat yang bersamaan, Jawa Barat kemudian memberlakukan PSBB. Kota Bandung bahkan menutup sejumlah ruas jalan utama. Menurut Anggraini Alam, pada awal-awal PSBB kedisiplinan masyarakat Jabar, khususnya di Bandung, cukup baik. RSHS yang “kebanjiran” pasien COVID-19, perlahan tapi pasti mampu mengatasinya hingga jumlah pasien COVID-19 saat ini terus berkurang.
Data terbaru pasien COVID RSHS pada Selasa (9/6) kasus ODP (Orang Dalam Pemantauan) baru 5 orang. Total ODP yang telah dan saat ini dirawat sebanyak 464 orang. Jumlah PDP (Pasien dalam Pengawasan) yang dirawat RSHS 14 pasien. Dari 14 kasus PDP tersebut, terkonfirmasi positif COVID-19 sebanyak 2 orang. Total PDP yang dirawat RSHS berjumlah 379 orang, sebanyak 84 orang di antaranya positif.
Sementara PDP yang meninggal sebanyak 66 orang, terkonfirmasi positif 23 orang, terkonfirmasi negatif 24 orang, dan belum terkonfirmasi 19 orang.
RSHS pernah mencatat angka nol ODP pada bulan Juni tersebut. Sehingga rumah sakit ini memutuskan membuka layanan kesehatan non-COVID.
“Jabar pada awal PSBB sangat baik, saya kan tinggal di Bandung, jadi bisa melihatnya. Nah saat ini orang mulai agak lupa, maskernya sudah mulai lupa. Dulu itu tiap 20 motor pakai masker semua, sekarang kebalikan. Jadi mohon diingatkan (protokol kesehatannya),” tutur Anggraini Alam, saat dihubungi era.id, baru-baru ini.
Dokter yang akrab disapa Anggi ini menganalisis, suatu keramaian yang terjadi pekan ini dampaknya akan terasa pada pekan-pekan berikutnya sesuai dengan masa inkubasi virus SARS-CoV-2, penyebab penyakit COVID-19.
“Kalau sakit itu baru kelihatan dua tiga minggu yang akan datang. Misalnya sekarang berkumpul-kumpul, mudik, mulai ada lagi terasa kok, eh ada pasien lagi. Nanti hasil dari sekarang ini kumpul-kumpul kita lihat dua tiga minggu lagi seperti apa. Tapi kita kan enggak mau demikian,” ujarnya.
Hubungan keramaian aktivitas masyarakat di luar rumah sakit dengan kesibukan tim penanganan COVID di dalam rumah sakit dapat dilihat dari jumlah kunjungan pasien maupun konsultasi. Sebagai rumah sakit pusat rujukan, RSHS menerima konsultasi dari para dokter yang menangani penyakit COVID di rumah sakit lain di berbagai daerah.
“Terlihat kok di RSHS. RSHS itu tidak hanya menerima pasien tapi kami itu ada dokter jaganya, ada konsultasi-konsultasi dari teman-teman dari (rumah sakit) di Jabar. Apalagi kami dokter anak mendapatkan konsultasi dari seluruh Indonesia. Jadi terasa begitu ada ramai-ramai naik lagi, rame lagi yang konsultasinya,” cerita dokter spesialis anak tersebut.
Kini, pemerintah menggulirkan kebijakan new normal atau kehidupan normal yang baru ketika angka penularan COVID masih tinggi. Setiap hari data resmi pemerintah merilis jumlah penularan masih 500-an bahkan lebih.
Sementara tidak sedikit masyarakat yang menganggap new normal sebagai kehidupan normal yang biasa dijalani seperti sebelum pandemi COVID di manat aktivitas berlangsung tanpa protokol kesehatan pencegahan COVID.
Anggi memahami pemerintah maupun masyarakat memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Ia menganalogikan bahwa Indonesia saat ini menghadapi badai yang sama tetapi berada dalam kapal yang berbeda-beda.
“Bisa dilihat kok data (penularan COVID) dari pemerintah belum turun, masih ratusan yang positif. Masih bergejolak terus. Artinya kita belum memenuhi bagaimana ketentuan WHO untuk hidup baru itu memerlukan prasyarat-prasyarat di mana COVID betul-betul turun,” ungkapnya.
Kendati demikian, masyarakat, termasuk tenaga kesehatan, bagaimanapun tetap mengikuti kebijakan pemerintah. Jika pemerintah menggulirkan new normal, maka kebijakan ini harus diikuti dengan disiplin mentaati protokol kesehatan yang ketat.
Semua orang tidak boleh menganggap remeh penyakit COVID. Bahwa penyakit ini berbahaya, menyerang pernapasan dan bisa menimbulkan gagal napas (kematian), walaupun tidak sedikit pasien tanpa gejala atau tidak merasa sakit sama sekali.
“Kami ingin jangan anggap enteng virus SARS CoV 2. Kami di rumah sakit melihat yang terinfeksi, terinfeksinya juga betulan," ujar Anggi.