Garda Depan Pandemi di Jalur Gaza: 'Hanya Terima 40 Persen Gaji, Kerja 24 Jam Penuh'

ERA.id - Akhir Agustus lalu, COVID-19 mulai masuk ke Jalur Gaza dan menulari dokter serta perawat setempat. Hal ini makin melemahkan sistem kesehatan di Jalur Gaza yang memang sudah rapuh sejak awal.

Di masa ketika pandemi berdampak parah di China dan Italia, eksistensi kasus COVID-19 di populasi Jalur Gaza justru nihil. Sejak 2007, Jalur Gaza diisolasi dari arah Israel dan Mesir, sebuah upaya untuk mmeisahkan kelompok militan muslim Hamas dari populasi Palestina. Hal ini kerap dianggap memperlambat masuknya virus korona ke populasi di dekat Tepi Barat itu.

Seorang anak menaiki sepeda di kawasan Ash Shati di Gaza (Flickr/stefano)

Namun, pada tanggal 29 Agustus lalu, kasus COVID-19 pertama muncul di warga sipil setempat dan dengan cepat berlipat ganda.

Setidaknya, seperti dilansir oleh Associated Press, saat ini ada lebih dari 1.000 kasus COVID-19 aktif. Sembilan orang telah meninggal karena infeksi virus tersebut.

Di Gaza sendiri, dengan total populasi 2 juta warga Palestina, hanya ada dua rumah sakit yang sanggup menangani virus korona, itu pun dengan kapasitas ruang I.C.U. yang hanya sepersekian dari total populasi Gaza.

"Sistem kesehatan yang sudah maju saja tidak mampu bertahan dari wabah ini, lalu bagaimana sistem kesehatan kami yang rapuh dan bergantung pada bantuan ini bisa menghadapi krisis?" kata Ahmed Shatat, pejabat Kementerian Kesehatan Palestina.

Rumah Sakit Abu Yousef al Najar di Rafah, kawasan selatan Jalur Gaza. (Flickr/Free Gaza Movement)

Shatat menyatakan bahwa 68 tenaga medis yang bekerja di Jalur Gaza telah positif terinfeksi COVID-19. Agar bisa meringankan beban para tenaga medis, kini masa karantina wajib bagi orang yang terinfeksi korona diperpendek dari tiga pekan menjadi dua pekan saja. Itu pun masih belum bisa menghindarkan para dokter dan perawat dari kelelahan ekstra.

Dr. Ahmed el-Rabii, seorang dokter di Rumah Sakit Shifa, mengaku sebelum terinfeksi virus ia bisa bekerja 24 jam penuh, memakai alat perlindungan diri (APD) di tengah cuaca musim panas Palestina yang menyengat. Seperti dilansir Associated Press, el-Rabii akan pulang ke rumah dan libur selama dua hari, kemudian kembali ke rumah sakit untuk menjalani shift kerja 24 jam penuh berikutnya.

"Jadwal seperti itu sangat melelahkan," kata dia.

El-Rabii, yang berusia 37 tahun, mungkin akan memilih tempat kerja dengan shift yang lebih manusiawi jika memang bisa. Namun, di negara miskin seperti Palestina, dan terutama di Jalur Gaza yang mendapat blokade dari dua negara tetangga, kesempatan kerjanya terbatas. Saat ini klinik swasta telah tutup. Rumah sakit pemerintah adalah tempat praktik satu-satunya yang tersisa di kawasan itu. Itu pun dengan bayaran yang tidak penuh.

"Kebanyakan, kami hanya mendapat 40 persen dari gaji kami. Itulah kenapa dokter di sini juga bekerja di klinik swasta dan berbagai rumah sakit lainnya," kata dia.

Haitham Ibrahim, seorang karyawan laboratorium, juga bekerja tanpa henti selama dua pekan terakhir di laboratorium Rumah Sakit Khan Younis di sebelah selatan Jalur Gaza. Rumah sakit ini, selain RS Shifa, harus menangani seluruh pasien COVID-19 yang ada di kawasan Gaza.

"Saya sering tiba-tiba tertidur sendiri karena merasa sangat kelelahan," kata dia pada Associated Press. "Kami beristirahat di jeda shift kerja, namnn, saat Anda memakai APD kembali rasanya badan Anda sudah  lemas lunglai."

Karena kemungkinan terekspos virus korona, Ibrahim saat ini harus diisolasi selama 2 pekan di pusat karantina kawasan Gaza. Setelah itu, ia masih harus melakukan karantina mandiri di rumah. Kadang ia merasa, situasi para pasien justru lebih baik daripada para tenaga kesehatan.

"Pasien menginap di rumah sakit selama 20 hari lalu dia akan sembuh. Namun, kami akan terus berada di bawah tekanan dan tak henti-hentinya gelisah bilamana kami akan ikut terinfeksi virus tersebut," kata Ibrahim.