Fadli Zon Minta Maaf Tak Dapat Cegah Pengesahan UU Cipta Kerja
ERA.id - Anggota Komisi I DPR Fraksi Gerindra, Fadli Zon meminta maaf pada masyarakat karena tak dapat mencegah disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja. Sebab ia pun bukan anggota badan legislasi yang membahas RUU ini.
"Sebagai anggota DPR, saya termasuk yang tak dapat mencegah disahkannya UU ini. Selain bukan anggota Baleg, saya pun termasuk yang terkejut adanya pemajuan jadwal Sidang Paripurna kemarin, sekaligus mempercepat masa reses. Ini bukan apologi, tapi realitas dari konfigurasi politik yang ada. Saya mohon maaf," kata Fadli melalui keterangannya, Rabu (7/10/2020).
Ia menyebutkan menurut World Economic Forum (WEF), kendala utama investasi di Indonesia adalah korupsi, inefisiensi birokrasi, ketidakstabilan kebijakan, serta regulasi perpajakan. Tapi yang disasar omnibus law malah isu ketenagakerjaan.
"Bagaimana ceritanya? Jadi, antara diagnosa dengan resepnya sejak awal sudah tak nyambung," kata Fadli.
Ia bisa memahami kenapa saat ini masyarakat banyak yang gelisah dan marah terhadap omnibus law. Karena mereka melihat kalau kepentingan dan suara mereka sama sekali kurang diperhatikan.
"Kaum buruh, yang saat ini berada dalam posisi sulit akibat COVID-19, posisinya jadi kian terpojok," katanya.
Dalam catatannya, ada beberapa isu yang memang mengusik rasa keadilan buruh. Misalnya, skema pesangon kepada pekerja yang di-PHK diubah dari sebelumnya 32 bulan upah, kini menjadi 25 bulan upah. Kemudian, penghapusan UMK (Upah Minimum Kabupaten) menjadi UMP (Upah Minimum Provinsi).
"Padahal, menurut data lapangan, besaran UMP ini pada umumnya adalah di bawah UMK. Sehingga, alih-alih meningkatkan kesejahteraan buruh, omnibus law ini belum apa-apa sudah akan menurunkan kesejahteraan mereka," katanya.
Selain itu, ia juga menyebutkan hak-hak pekerja yang sebelumnya dijamin, seperti hak istirahat panjang, uang penghargaan masa kerja, serta kesempatan untuk bekerja selama 5 hari dalam seminggu, kini tak ada lagi.
"Sehingga, secara umum, omnibus law ini memang tak memberi rasa keadilan, bukan hanya buat buruh, tapi juga buat masyarakat secara umum," katanya.
Di sisi lain, ia juga melihat omnibus law ini bisa menjadi preseden buruk bagi demokrasi. Ada beberapa alasannya. Pertama, omnibus law telah membuat parlemen kurang berdaya. Bayangkan, undang-undang ini mengubah 1.203 pasal dari 79 undang-undang yang berbeda-beda.
"Bagaimana parlemen bisa melakukan kajian dan sinkronisasi pasal sekolosal itu dalam tempo singkat? Sangat sulit. Sehingga, yang kemudian terjadi parlemen menyesuaikan diri dengan keinginan Pemerintah," katanya.
Ia menduga mungkin dalam beberapa isu parlemen bisa memasukkan sejumlah kepentingan masyarakat. Tapi kepentingan pemerintah jauh lebih dominan.
"Ini tentunya bukan praktik demokrasi yang kita kehendaki," katanya.
Kedua, ia menyebutkan omnibus law telah mengabaikan partisipasi masyarakat. Membahas seluruh materi yang telah disebutkan tadi dalam tempo yang singkat memang mustahil dilakukan, apalagi di tengah berbagai keterbatasan dan pembatasan semasa pandemi ini. Sehingga, pembahasan omnibus law ini kurang memperhatikan suara dan partisipasi masyarakat.
Dan ketiga, ia menilai omnibus law ini bisa memancing instabilitas. Masifnya penolakan buruh di mana-mana, termasuk ancaman mogok nasional, menunjukkan omnibus law ini hanya akan melahirkan kegaduhan saja.
"Kalau terus dipaksa untuk diterapkan, ujungnya sudah pasti hanya akan merusak hubungan industrial. Artinya, baik buruh maupun pengusaha pada akhirnya bisa sama-sama dirugikan. Ini soal waktu saja," katanya.
Apalagi, menurutnya, omnibus law ini ditengarai akan memfasilitasi kian massifnya perampasan lahan dan kerusakan lingkungan. Ini pasti akan melahirkan banyak gesekan di lapangan.
Di sisi lain, apa yang diharapkan dengan keberadaan omnibus law ini, menurutnya sulit tercapai. Beleid ini, dengan berbagai efek turunan yang telah disebutkan tadi, tak akan berhasil menarik investasi. Sebab, di tengah-tengah resesi, investor umumnya menginginkan kepastian hukum. Sementara, omnibus law ini justru telah melahirkan ketidakpastian hukum.
"Coba saja hitung, ada berapa ratus, atau ribu, aturan pelaksana, mulai dari peraturan pemerintah, menteri, gubernur, hingga peraturan daerah terbawah yang harus diubah dan disesuaikan dengan omnibus law ini? Alih-alih terpikat datang, para investor akan melihat ini sebagai bentuk ketidakpastian hukum baru," katanya.
Lagi pula, Fadli menambahkan sudah bukan zamannya lagi menekan atau memangkas hak-hak buruh untuk menggaet investasi. Sebab, investor yang baik, selain isu lingkungan, biasanya juga sangat memperhatikan isu perburuhan. Hubungan industrial yang buruk hanya akan menciptakan instabilitas dan investasi tak berkesinambungan.
"Selain isu perburuhan yang bermasalah, omnibus law ini justru kian memundurkan komitmen Pemerintah terhadap isu lingkungan. Sehingga, meskipun Pemerintah selalu mengklaim RUU Cipta Kerja akan mendorong reformasi regulasi dan debirokratisasi, sehingga pelayanan pemerintahan akan lebih efisien, dan mudah, namun janji itu saya kira akan sulit terealisasi," katanya.
Ia memaklumi sebagian masyarakat sangat pantas kecewa akibat pengesahan omnibus law kemarin. Pengesahan omnibus law menabrak rasa keadilan masyarakat.
"Ke depan, Pemerintah dan DPR seharusnya lebih banyak mendengar suara masyarakat," katanya.