Prancis Siaga, Ribuan Tentara Jaga Tempat Ibadah dan Sekolah
ERA.id - Pemerintah Prancis akan mengerahkan ribuan tentara lagi untuk melindungi lokasi-lokasi penting seperti tempat ibadah dan sekolah menyusul dinaikkannya level keamanan ke tingkat tertinggi sejak Kamis (29/10/2020) malam.
Berbicara di luar gereja Notre-Dame, tempat kejadian pembunuhan pada Kamis pagi, Presiden Prancis Emmanuel Macron mengaku bahwa negaranya telah diserang "karena nilai-nilai kami... atas kebebasan berkeyakinan yang ada di tanah kami."
"Saya katakan dengan sangat jelas lagi hari ini: Kami tidak akan menyerah," kata Macron, seperti dilansir ANTARA.
Serangan pada Kamis lalu menambah panjang peristiwa pemenggalan yang terjadi selama bulan Oktober ini. Sebelumnya, kurang dari dua pekan lalu, seorang guru sekolah menjadi korban pemenggalan oleh pemuda berusia 18 tahun.
Kepala jaksa anti-teroris Jean-Francois Ricard mengatakan tersangka dalam serangan di Nice adalah seorang pria Tunisia yang lahir pada 1999 yang pertama kali tiba di Eropa via Pulau Lampedusa, Italia, pada 20 September lalu. Pulau tersebut merupakan titik pendaratan utama bagi para migran dari Afrika.
Sumber keamanan Tunisia dan sumber polisi Prancis menyebut tersangka sebagai Brahim Aouissaoui.
Ricard mengatakan pada konferensi pers di Nice bahwa pria itu memasuki kota dengan kereta api pada Kamis pagi dan pergi ke gereja, di mana dia menikam dan membunuh petugas gereja berusia 55 tahun dan memenggal kepala seorang perempuan berusia 60 tahun.
Dia juga menikam seorang wanita berusia 44 tahun yang melarikan diri ke kafe terdekat tempat dia membunyikan alarm sebelum meninggal, kata Ricard.
Sejumlah barang bukti juga telah disita dari sang pelaku, yaitu dua telepon genggam, pisau sepanjang 30 cm dengan ujung tajam 17 cm, dan sebuah Kitab Al Quran.
"Kami juga menemukan tas yang ditinggalkan oleh penyerang. Di samping tas ini ada dua pisau yang tidak digunakan dalam penyerangan," ujar Ricard.
Juru bicara pengadilan khusus kontra-militansi Tunisia Mohsen Dali mengatakan kepada Reuters bahwa Aouissaoui tidak terdaftar oleh polisi di sana sebagai tersangka militan.
Dia mengatakan Aouissaoui meninggalkan negara itu pada 14 September dengan perahu, menambahkan bahwa Tunisia telah memulai penyelidikan forensiknya sendiri atas kasus tersebut.