Rangkap Jabatan, ICW Minta Risma Harus Mundur Sebagai Menteri atau Walikota
ERA.id - Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta Menteri Sosial yang baru diangkat Jokowi, Tri Rismaharini untuk mundur dari salah satu jabatannya, karena dinilai masih menjabat sebagai Walikota Surabaya.
Risma saat ini rangkap jabatan. Ia juga mengakui hal itu. Kata Risma, ia telah mendapat izin Presiden. "Lewat pengakuan Risma, kita bisa melihat inkompetensi dan tidak berpegangnya dua pejabat publik pada prinsip etika publik. Yang pertama adalah Risma sendiri, kedua adalah Presiden RI Joko Widodo," terang peneliti ICW, Egi Primayoga.
Menurut Egi, pejabat publik semestinya memiliki kemampuan untuk memahami peraturan dan berorientasi pada kepentingan publik. Terlebih lagi, jika pejabat itu sekelas Presiden dan Walikota dengan prestasi yang disebut-sebut mentereng.
Ia menyebut, sedikitnya 2 Undang-undang yang dilanggar dengan rangkap jabatannya Risma. "Pertama, UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 76 huruf h UU Pemerintahan Daerah secara tegas memuat larangan bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk melakukan rangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya."
"Kedua, UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Pasal 23 huruf a UU Kementerian Negara mengatur bahwa Menteri dilarang merangkap jabatan pejabat negara lainnya. Merujuk pada regulasi lain, yakni Pasal 122 UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Menteri dan Walikota disebut sebagai pejabat negara."
ICW juga menilai, keputusan Presiden RI untuk membiarkan pejabat publik rangkap jabatan, juga jelas bermasalah. "Perintah undang-undang tidak bisa dikesampingkan oleh izin Presiden, apalagi hanya sebatas izin secara lisan. Pengangkatan Risma sebagai menteri tanpa menanggalkan posisi wali kota bisa dinilai cacat hukum. "
ICW menambahkan, fenomena rangkap jabatan bukan hanya terjadi pada saat pemilihan menteri baru. Sebelumnya, Ombudsman telah menemukan praktik serupa di tubuh BUMN. "Sayangnya, Presiden Joko Widodo tidak bergeming. Bahkan kondisi tersebut dinormalisasi oleh Presiden Joko Widodo."
ICW menilai jika menormalisasi praktik rangkap jabatan, sama dengan menormalisasi sesuatu yang dapat berujung pada perilaku koruptif. Sebab, rangkap jabatan dapat berpotensi menimbulkan konflik kepentingan saat merumuskan sebuah kebijakan.
"Izin yang diberikan oleh Presiden kepada Risma untuk melakukan rangkap jabatan semakin menunjukkan praktik permisif terhadap praktik koruptif. Terlebih, keputusan tersebut melanggar UU, dan mengikis nilai etika publik yang hidup di tengah masyarakat."
Intinya, ICW mendesak Risma untuk mundur dari salah satu jabatannya. Jika Risma tak segera mengundurkan diri, maka ia tidak layak menduduki posisi pejabat publik apapun. "Perhatian publik juga perlu ditujukan pada Presiden RI yang memberi izin pada Risma untuk rangkap jabatan," tandasnya.