Indro Montanelli: Jurnalis yang Dipuja dan Dihina di Italia karena Asusila
ERA.id - Warga Italia pada Juni 2020 silam, pernah marah karena pemerintah setempat membuat patung Indro Montanelli di Milan, Italia. Para aktivis feminis dan gender merasa itu tak layak karena Montanelli adalah pelaku kekerasan seksual.
Awalnya patung itu itu disiram dengan cat merah oleh aktivis pada 2019 silam. Semua didasari karena Montanelli dituduh rasis dan pelaku pelecehan seksual. Sejarahnya begini, Indro Montanelli selama dua tahun mengabdi di ketentaraan dalam perang Italia-Ethiopia kedua pada tahun 1930-an. Saat itu, Montanelli membeli-atau lebih tepatnya "disewakan," seperti yang dia katakan-seorang gadis muda Eritrea dari ayahnya seharga 350 lira, ditambah kuda dan senapan yang dibulatkan menjadi 500 lira.
Gadis itu, yang bernama “Destà” atau “Fatima,” berusia 12 atau 14 tahun. Selanjutnya, Desta dinikahi oleh Montanelli. Dilansir dari Politico.eu, Montanelli pernah menulis detail tentang gadis kecil tersebut di kolomnya, La Stanza pada tahun 2000, sebelum ia meninggal pada 2001.
Montanelli menggambarkan gadis tersebut sebagai "binatang kecil jinak" yang baunya membuatnya jijik, dan alat kelaminnya yang dimutilasi "menahan semangatnya". Intinya, hubungan intim itu terjadi setelah "intervensi brutal" dari ibu anak kecil tersebut.
Montanelli tidak pernah menunjukkan penyesalan. Dalam sebuah wawancara televisi tahun 1969, dia menepis kritik atas tindakannya dengan mengklaim adat istiadat "berbeda" di Afrika dengan Italia. Tidak ada yang menunjukkan bahwa dia pernah menyesali perlakuannya.
Lalu bagaimana respons pemerintah usai patung Montanelli dilumuri cat merah? Sebaliknya, aksi itu disambut dengan kecaman oleh orang Italia yang suaranya masih paling keras: orang tua kulit putih kelas atas yang mengendalikan sebagian besar kekuasaan, uang, dan media.
Penyiraman cat merah ke patung Montanelli itu sebenarnya diawali dari permintaan aktivis ke pemerintah agar patung tersebut dipindahkan. Belakangan, usulan itu diabaikan oleh otoritas setempat. Saat kejadian itu usai, sayangnya, tidak ada yang berbicara lebih jauh soal alasan di balik insinden yang melibatkan mendiang jurnalis atau penulis keturunan Afrika tersebut.
Orang lebih fokus pada perusakan patung yang dianggap vandalisme. Beppe Severgnini, seorang kolumnis di Corriere della Sera-surat kabar Italia yang menjadi pembawa acara kolom Montanelli-menggambarkan akuisisi dan pemerkosaan sebagai "pernikahan dengan seorang gadis lokal" yang "disetujui" oleh Montanelli.
Murid Montanelli, Marco Travaglio, pemimpin redaksi Il Fatto Quotidiano, melangkah lebih jauh dengan membingkai hubungan Montanelli dengan gadis itu sebagai bukti anti-rasisme.
Dalam satu video Instagram Wali Kota Milan, Giuseppe Sala menyebut Montanelli "jurnalis hebat" yang "memperjuangkan kebebasan pers" dan ditembak di kakinya oleh Brigade Merah sebagai akibat dari kebebasan ini.
“Apa yang kita minta dari orang-orang yang kita pilih untuk diperingati dengan patung? Haruskah mereka tanpa cacat? ” Sala merenung, seolah-olah pemerkosaan terhadap remaja adalah pelanggaran ringan, sesuatu yang dapat diimbangi dengan beberapa artikel dan buku yang ditulis dengan baik. Sala mengatakan dalam posting selanjutnya bahwa dia "mendengarkan" kritik yang dia terima atas komentarnya.
Sementara Carlo Cottarelli, mantan direktur Departemen Urusan Fiskal di IMF, juga menimpali hal serupa lewat Twitter pribadinya. “Apa yang dilakukan Indro #Montanelli di tahun 30-an tidak membenarkan serangan terhadap patungnya. Itulah monumen bagi seorang pria Italia yang mencintai kebebasan, demokrasi, pemikiran independen, dan kejujuran. Terima kasih, Montanelli.”