PPKM 'Ala' Jokowi Sukses Tekan Angka Kasus COVID-19? Ahli: Sampai Akhir Agustus Masih Rawan
ERA.id - Presiden Jokowi menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat hingga PPKM Level 4 selama satu bulan terakhir ini.
Pemerintah mengklaim PPKM Darurat hingga PPKM Level 4 berhasil menekan kenaikan kasus COVID-19.
Epidemiolog dari Griffith University Dicky Budiman mengatakan, PPKM Darurat maupun PPKM Level 4 diakui berhasil menekan angka kasus COVID-19. Namun, belum signifikan.
"Membawa dampak (menekan kasus COVID-19) iya, saya akui dan dari data juga menunjukkan begitu. Namun, belum signifikan," ujar Dicky saat dihubungi ERA.id, Minggu (8/8/2021).
Dicky menjelaskan, kebijakan PPKM Darurat dan PPKM Level 4 dinilai berhasil lantaran angka kasus tidak mencapai skenario terburuk yang sudah disiapkan pemerintah. Tetapi, masih menyebabkan beban di fasilitas layanan kesehatan (fasyankes) dan tingginya tingkat kematian.
Dicky memprediksi, beban fasyankes dan tingginya angka kematian masih akan terjadi hingga akhir Agustus 2021.
"Tanpa bantuan PPKM memang akan sulit menghindari skenario terburuk. Tapi, kita belum melewati puncak beban di fasyankes dan kematian, jadi sampai akhir Agustus nih masih rawan," kata Dicky.
Menurut Dicky, kebijakan PPKM Darurat maupun PPKM Level 4 belum siginifikan lantaran tes COVID-19 atau testing belum dijalankan dengan masif dan masih jauh dari target yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Kurang masifnya tes COVID-19, kata Dicky, menyebabkan sebagian besar kasus maupun klaster COVID-19 luput terdeteksi pemerintah. Padahal, tanpa tes yang masif, maka laju menyebaran virus Corona sangat sulit dikenadalikan.
"Ini salah satu yang belum berhasil kita kendalikan selama PPKM ini. Karena cakupan testingnya tidak meningkat secara signifikan dan belum sesuai dengan skala penduduk di masing-masing daerah maupun eskalasi pandeminya," kata Dicky.
"Itui berbahaya karena akan menambah percepatan penyebaran virus COVID-19, sehinga bertambahnya kasus infeksi baik yang ringan sampai yang berat, dan akhirnya menambah potensi kasus kematian di rumah-rumah masyarakat. Ini yang terjadi karen tidak terdeteksi," lanjutnya.
Dicky mencotohkan, apabila di satu daerah ditemukan ada 30.000 kasus baru, seharusnya pemerintah daerah harus mampu menyiapkan tes COVID-19 sebanyak 600.000 tes. Sayangnya, kata Dicky, logika tes COVID-19 ini belum dilakukan pemerintah.
Sehingga menyebabkan penyebaran COVID-19 di Indonesia sudah mencapai ke tingkat komunitas masyarakat seperti perkampungan dan pemukiman penduduk.
"Logika testing dan tracing ini belum pernah kita lakukan. Itulah sebabnya di data komponen indikator pandemi akhir-akhir ini kita melihat angka kasus kematian tinggi. Dan itu adalah kontribusi dari kasus kesakitan yang banyak tidak terditeksi," kata Dicky.
Lebih lanjut, Dicky menyoroti soal keterisian tempat tidur rumah sakit atau bed occupancy rate (BOR) yang diklaim sudah berkurang. Menurutnya, menurunnya beban BOR di RS tidak bisa dijadikan acuan bahwa PPKM benar-benar berhasil menjadi strategi penanganan pandemi COVID-19 di Indonesia.
Sebab, kata Dicky, menurut data BPS mayoritas penduduk di Indonesia memilih melakukan perawatan COVID-19 di rumahnya masing-masing ketimbang ke RS maupun isolasi terpusat (isoter).
"Ini artinya, kita yang harus menemukan mereka. Karena kalau tidak dan hanya melihat BOR saja, ya kita hanya melihat puncak gunung es. Tapi tingkat kematian akan terus terjadi di rumah-rumah," kata Dicky.