Permintaan Polri dan Polemik RUU Anti-terorisme
Kapolri Jenderal Tito Karnavian meminta DPR tak menunda pembahasan RUU Anti-terorisme agar Polri bisa memiliki payung hukum lebih kuat untuk menanggulangi terorisme.
"Kita harapkan UU Antiterorisme segera direvisi, jangan terlalu lama, sudah satu tahun lebih ini tak segera diperbaiki," ujar Tito, usai meninjau lokasi ledakan bom di Surabaya, Jawa Timu Minggu (13/4/2018).
Tito menyampaikan Polri kesulitan menindak terduga pelaku yang merencanakan aksi teror karena UU yang berlaku sekarang mengatur penindakan baru dapat dilakukan setelah aksi teror terjadi.
"Kita tahu sel-sel mereka, tapi kita tak bisa menindak kalau mereka tidak melakukan aksi," ungkap Tito.
Presiden Joko Widodo pernah mengatakan, revisi UU Anti-terorisme bertujuan menguatkan langkah pencegahan dan penindakan penegak hukum terhadap terduga dan pelaku terorisme. Sementara di DPR, pembahasan RUU Anti-terorisme belum satu suara karena masih ada hal-hal yang diperdebatkan seperti definisi terorisme dan keterlibatan TNI dalam menanggulangi terorisme.
"Soal definisi (terorisme) ini, kami yang di Panja sepakat minta tim pemerintah untuk merumuskannya," kata Anggota Panja RUU Anti-terorisme, Arsul Sani.
Presiden Jokowi meninjau lokasi ledakan di Surabaya, Minggu (14/5/2018). (Istimewa)
Baca Juga :
Sementara terkait keterlibatan TNI dalam penanggulangan terorisme, pada ayat 1 dan 2 tercantum TNI berwenang menyelenggarakan penanggulangan terorisme. Hal tersebut ditolak oleh Koalisi Masyarakat Sipil (Imparsial, ICW, Elsam, Kontras, LBH Pers, YLBHI, LBH Jakarta, Setara Institut, Lingkar Madani Indonesia. Menurut Koalisi Masyarakat Sipil, pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme dapat diatur di UU lain.
Panglima TNI saat itu, Jenderal Gatot Nurmantyo optimistis penanggulangan terorisme di Indonesia dapat optimal apabila TNI dilibatkan.
Baca Juga : Video Ledakan Bom di Mapolrestabes Surabaya
Selanjutnya, adalah perdebatan mengenai Pasa 43A yang mengatur masa penahanan hingga enam bulan terhadap orang yang diduga terlibat jaringan teroris. Namun aturan dalam pasal tersebut dikritik Hakim Agung Salman Luthan. Menurut Salman, pasal tersebut harus dibuang karena tidak sesuai kaidah hukum yang ada.
"Pasal 43A ini harusnya dibuang saja karena tidak sesuai dengan kaidah hukum yang adil, yakni terkait penahanan dan penangkapan. Ini tidak relevan," kata Salman, di Gedung Parlemen.
Berdasarkan penelusuran era.id, anggota Pansus DPR untuk RUU Anti-terorisme adalah anggota Fraksi PDI Perjuangan TB Hasanuddin, Bambang Wuryanto, Trimedya Panjaitan, Irene Yusiana Rosa Putri, Risa Mariska, dan Ahmad Basarah; anggota Fraksi Partai Golkar Bobby Rizaldi, Fayakhun Andriadi, Dave Akbarshah, Ahmad Zaky Siradj, dan Saiful Bahri; anggota Fraksi Partai Gerindra Martin Hutabarat, Ahmad Muzani, Iwan Kurniawan, dan Wenny Warouw.
Kemudian anggota Fraksi Partai Demokrat Sjarifuddin Hasan, Benny K Harman, dan Darizal Basir; anggota Fraksi PAN Mulfachri Harahap, Hanafi Rais, dan Muslim Ayub; anggota Fraksi PKB Syaiful Bahri Ansyori dan Muhammad Toha, anggota Fraksi PKS Sukamta dan Nasir Djamil; anggota Fraksi PPP Asrul Sani dan Achmad Dimyati Natakusumah; anggota Fraksi Partai Nasdem Supiadin Aries Saputra dan Akbar Faizal, serta anggota Fraksi Partai Hanura Syarifuddin Sudding.
Terkait sikap fraksi terhadap RUU Anti-terorisme, Fraksi PDIP menolak pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme, Partai Gerindra dan PKS menolak RUU Anti-terorisme karena menilai tidak ada urgensi, dan Fraksi Partai Nasdem sepakat RUU Anti-terorisme segera diselesaikan.