Hukum Islam Menyikapi Operasi Cangkok Jantung Babi ke Tubuh Manusia

ERA.id - Saking berkembangnya pengetahuan, kini organ babi bisa dicangkokkan atau ditransplantasikan kepada manusia. Kabar itu sudah banyak beredar.

Adapun organ babi yang ditransplantasi itu demi menggantikan fungsi organ manusia yang tak lagi berfungsi alias disfungsi. Lantas, bagaimana dunia Islam menyikapinya? Sebab muslim, jika ingin melakukan operasi tersebut, pasti terganjal aturan hukum agama yang berujung kepada dua jawaban, boleh atau tidak.

Dilansir dari laman resmi Nahdlatul Ulama, Universitas Al-Azhar Kairo Mesir merespons praktik tersebut dengan langsung menjatuhkan hukum haram jika berhubungan dengan sesuatu yang najis, kecuali pengobatan itu dalam situasi darurat atau hajat setara darurat.

Adapun menurutnya, transplantasi ginjal babi ke tubuh manusia sudah dibahas oleh para kiai pada Muktamar Ke-29 NU di Cipasung, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, pada 4 Desember 1994 M.

Semuanya demi merespons penelitian ilmiah sebuah disertasi doktoral di Universitas Airlangga yang menyimpulkan bahwa tulang rawan babi dinilai efektif untuk mengganti gigi manusia.

Adapun hasil pengujian tim klinis RS Dr Sardjito Yogyakarta ketika itu membuktikan bahwa katup jantung babi paling sesuai sebagai pengganti katup jantung manusia.

Forum Muktamar Ke-29 NU memahami praktik transplantasi berasal dari bahasa Inggris to transplant, yang berarti to move from one place to another, bergerak dari satu tempat ke tempat lain.

Adapun pengertian menurut ahli ilmu kedokteran, transplantasi itu ialah pemindahan jaringan atau organ dari tempat satu ke tempat lain.

Saat itu, Forum Muktamar Ke-29 NU memutuskan bahwa hukum transplantasi gigi dengan organ babi dan sejenisnya tidak boleh, sebab masih banyak benda lain yang dapat digunakan sebagai pengganti dan karena belum sampai pada tingkat kebutuhan yang mendesak.

Dari sana diambil keputusan, kalau hukum transplantasi dengan organ babi untuk menggantikan organ sejenisnya pada manusia, tidak boleh kecuali jika sangat diperlukan dan tidak ada organ lain yang seefektif organ babi tersebut.

Dalam kondisi ini, menurut hasil Muktamar Ke-29 NU, hukumnya boleh menurut pendapat Imam Ramli, Imam Isnawi dan Imam Subki.

Sedangkan menurut Imam Ibnu Hajar, orang yang menerima transplantasi tersebut harus ma’shum.

قوله (وَلَوْ وَصَلَ عَظْمَهُ) لِانْكِسَارِهِ مَثَلاً وَاحْتِيَاجِهِ إِلَى الْوَصْلِ (بِنَجْسٍ لِفَقْدِ الطَّاهِرِ) الصَّالِحِ لِلْوَصْلِ أَوْ وَجَدَهُ وَقَالَ أَهْلُ الْخُبْرَةِ أَنَّهُ لاَ يَنْفَعُ وَوَصَلَهُ بِالنَّجِسِ (فَمَعْذُوْرٌ) فِيْ ذَلِكَ فَتَصِحُّ صَلاَتُهُ مَعَهُ لِلضَّرُوْرَةِ ... وَلَوْ قَالَ أَهْلُ الْخِبْرَةِ أَنَّ لَحْمَ اْلأَدَمِيِّ لاَ يَنْجَبِرُ سَرِيْعًا إِلاَّ بِعَظْمِ نَحْوِ كَلْبٍ فَيُتَّجَهُ كَمَا قَالَ اْلأَسْنَوِيُّ أَنَّهُ عُذْرٌ ... (وَإِلاَّ) أَيْ وَإِنْ وَصَلَ بِهِ مَعَ وُجُوْدِ الطَّاهِرِ الصَّالِحِ أَوْ لَمْ يَحْتَجْ إِلَى الْوَصْلِ حَرُمَ عَلَيْهِ لِتَعَدِّ بِهِ وَ (وَجَبَ) عَلَيْهِ (نَزْعُهُ) وَأُجْبِرَ عَلَى ذَلِكَ (إِنْ لَمْ يَخَفْ ضَرَرًا ظَاهِرًا

Artinya, “(Dan bila seseorang menyambung tulangnya) karena pecah misalnya, dan butuh disambung, (dengan najis karena tidak ada tulang suci) yang layak) dijadikan penyambung, atau ada namun seorang pakar berkata: “Sungguh tulang suci tersebut tidak berguna.”, dan ia menyambungnya dengan tulang najis, (maka ia dianggap udzur) dalam hal tersebut, oleh sebab itu salatnya tetap sah besertaan tulang najis tersebut –di tubuhnya-, karena kondisi darurat. … Dan bila seorang pakar berkata: “Sungguh daging manusia itu tidak bisa tertambal, kecuali dengan tulang semacam anjing.”, maka kondisi itu dinilai kuat sebagai udzur-boleh menambal dengannya- seperti hemat al-Isnawi, … (dan bila tidak begitu), maksudnya bila ia menyambungnya dengan tulang najis dalam kondisi terdapat tulang suci, atau tidak butuh menyabungnya, maka penyambungan itu haram karena keteledorannya, dan (wajib) baginya (mencopot tulang najis itu), dan ia dipaksa mencopotnya (bila tidak khawatir bahaya yang nyata),” (Muhammad Al-Khatib As-Syirbini, Mughnil Muhtaj, [Mesir, At-Tijariyatul Kubra: t. th], jilid I, halaman 190-191).