ERA.id - Pengajuan Sumbu Filosofi Jogja sebagai warisan budaya dunia oleh Unesco menjadi topik yang menarik untuk dibahas. Perlu diketahui, di balik garis imajiner tersebut terdapat sejarah dan pemaknaan yang kontekstual dengan masa sekarang.
Sultan Hamengku Buwana I adalah orang yang berperan dalam membangun Jogja, dengan berlandaskan filosofi yang sangat tinggi. Sultan menata Kota Yogyakarta membentang arah utara-selatan dengan membangun Keraton Yogyakarta sebagai titik pusatnya.
Apa Itu Sumbu Filosofi Jogja?
Dian lakshmi pratiwi dalam artikelnya yang berjudul Yogyakarta City of Pholosophy, menyebut jika setiap bagian Jogja seakan menjadi bagian dari buku filsafat. Hal tersebut lantaran Kota Yogyakarta ditata berdasarkan filosofi yang begitu mendalam
tentang hubungan manusia dengan Tuhan dan alam, serta cerminan perjalanan hidup manusia sejak lahir hingga menghadap Sang Khalik.
Sumbu Imajiner tersebut seperti apa yang UNESCO sebutkan sebagai saujana asosiatif (associative landscape) yang merupakan paduan antara unsur budaya bendawi (tangible) dan tak bendawi (intangible).
Oleh karena itu, konsep perancangan dan pendirian Kota Yogyakarta merupakan suatu mahakarya atau “Masterpiece of Creative Genius” yang tidak ada bandingannya, bahkan pada taraf dunia.
Sementara itu, Mark Woodward dalam buku Islam Jawa Kesalehan Normatif Versus Kebatinan (1999) membahas tata ruang Yogyakarta berikut sumbu imajiner khasnya dalam satu bingkai struktur jalan mistik.
Woodward menjelaskan jika tata ruang Yogyakarta beserta simbolisme dan arsitektur kratonnya menggambarkan struktur kosmos Islam. Struktur tersebut memuat hubungan antara sufisme dan syariat serta asal-usul manusia.
Memakai pandangan Woodward, Adieyatna Fajri dalam tulisannya yang berjudul “Menyoal Kesiapan Yogyakarta Menjadi The World Heritage City” menjelaskan konsep Jawa galib yaitu ‘sangkan paraning dumadi’.
Fadji menjelaskan jika konsep tata ruang kota Yogyakarta dapat dibaca sebagai penggambaran seorang manusia yang baru lahir hingga beranjak dewasa dan mencapai level pencerahan tertinggi, yaitu bersatu dengan Tuhan (manunggaling kawula lan gusti)
3 Titik Susunan Sumbu Filosofi Jogja
Perlu diketahui, Sultan mendirikan Tugu Golong-gilig (Pal Putih) di sisi utara keraton, dan Panggung Krapyak di sisi selatannya. Dari ketiga titik tersebut apabila ditarik suatu garis lurus akan membentuk sumbu imajiner yang dikenal sebagai “Sumbu Filosofi Yogyakarta”.
Pertama, ada Panggung Krapyak yang merupakan awal dari tiga titik susunan sumbu filosofis (Panggung Krapyak-Keraton-Tugu) atau yang disebut “Sangkan Paraning Dumadi”.
Diketahui, pertemuan antara wiji (benih) digambarkan antara Panggung Krapyak (yoni) dengan Tugu Pal Patih (lingga), yang melambangkan proses kelahiran manusia (sangkaning dumadi) yang tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa, berumah tangga, mengandung, dan melahirkan anak.
Namun, sebaliknya jika melihat dari Tugu Pal Putih menuju Keraton Yogyakarta maka akan melambangkan perjalanan hidup manusia kembali menuju Sang Penciptanya (paraning dumadi).
Kemudian, Keraton Yogyakarta yang terletak di titik tengah menggambarkan kehidupan manusia yang telah mapan-dewasa. Terakhir, filosofi paraning dumadi yaitu kehidupan langgeng di alam akhirat setelah kematian yang disimbolkan dengan Lampu Kyai Wiji di Gedhong Prabayeksa yang tak pernah padam sejak Sultan Hamengku Buwana I.
Jika dimaknai secara simbolis Sumbu Filosofi Yogyakarta melambangkan keselarasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia.
Tidak hanya antara sesama manusia dan pencipta, Sumbu Filosofis juga lambang hubungan manusia dengan alam dan lima anasir di antaranya api (dahana) dari Gunung Merapi, tanah (bantala) dari bumi Ngayogyakarta, air (tirta) dari Laut Selatan, angin (maruta), dan angkasa (ether).
Selain Sumbu Filosofi Jogja, ikuti artikel-artikel menarik lainnya juga ya. Kalo kamu ingin tahu informasi menarik lainnya, jangan ketinggalan pantau terus kabar terupdate dari ERA dan follow semua akun sosial medianya! Bikin Paham, Bikin Nyaman…