Jeratan Hukum Terhadap Pelaku Kejahatan Satwa Dianggap Masih Ringan, UU Konservasi SDA Perlu Direvisi?

| 30 Dec 2022 09:06
Jeratan Hukum Terhadap Pelaku Kejahatan Satwa Dianggap Masih Ringan, UU Konservasi SDA Perlu Direvisi?
STJF saat menggelar konferensi pers catatan kejahatan satwa selama tahun 2022. (Ilham/ERA.id).

ERA.id - Sumatera Tropical Forest Jurnalisme (STFJ) mengeluarkan catatan penting untuk penanganan satwa dilindungi yang saat ini terancam punah. Sepanjang tahun 2022 ini, STJF mencatat kasus kejahatan satwa (wildlife crime) meningkat khususnya di Aceh dan Sumatera Utara (Sumut).

Mirisnya lagi, pelaku-pelaku kejahatan satwa terdapat dari kalangan anak di bawah umur hingga pejabat daerah. STJF sendiri menyoroti ringannya jeratan hukum terhadap pelaku kejahatan satwa hingga dianggap belum memberi efek jera.

"Ringannya vonis hukuman hingga kasus melibatkan mantan kepala daerah yang masih mengambang menjadi catatan STFJ," ungkap Direktur STJF Rahmad Suryadi di Medan, Kamis (29/12/2022).

Rahmad mengatakan bahwa hal ini menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan satwa liar dilindungi. Dia menyebut salah satu contoh kasus perdagangan anak Orangutan Sumatera (Pongo abelii) dengan terdakwa Thomas Raider Chaniago alias Thomas (18).

Pengadilan Negeri (PN) Lubuk Pakam Cabang Labuhan Deli yang mengadili perkara tersebut, menjatuhkan vonis satu tahun penjara dan denda Rp10 juta subsider enam bulan, pada 17 Oktober 2022.

"Putusan ini jauh lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dengan hukuman pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan," kata Rahmad.

Rahmad mengungkapkan pada kasus lain seperti PN Kota Binjai memvonis terdakwa sindikat perdagangan Orangutan Sumatera, Edi AP dengan delapan bulan penjara denda Rp100 juta subsider dua bulan.

"Kemudian PN Simpang Tiga Redelong, Bener Meriah menjatuhi hukuman pidana penjara satu tahun enam bulan dan denda Rp100 juta subsider satu bulan kurungan terhadap Iskandar (48), terdakwa tindak pidana kasus perdagangan kulit harimau, pada 2 November 2022 lalu," sambungnya.

Rahmad menilai kasus perdagangan kulit harimau ini masih menjadi misteri, setelah adanya keterlibatan mantan Bupati Bener Meriah, Ahmadi bersama rekannya Suryadi. STFJ menilai ada kejanggalan dalam proses hukum kasus ini dan terkesan tebang pilih.

STFJ, tambahnya, berupaya mendorong pemerintah dan para pemangku kebijakan segera merevisi UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

"Menyikapi sejumlah kasus persidangan di atas, STFJ menilai UU Nomor 5 tahun 1990 dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun penjara dan denda Rp100 juta tidak membuat efek jera bagi pelaku kejahatan karena masih terlalu ringan," kata Rahmad.

Conservation Director-The Wildlife Whisperer of Sumatra (2WS), Badar Johan mengatakan, bila upaya menjaga konservasi satwa dan lingkungan ini tidak bisa dilakukan sendiri. Harus ada tindakan nyata dan serius dalam mendorong penegakan hukum menjamin keberlangsungan ekosistem satwa liar dilindungi dan lingkungan.

"Kami menyuarakan kepedulian terhadap satwa dan konservasi lingkungan melalui media sosial, dengan memberikan edukasi dan informasi kepada masyarakat. Serta mengawal kasus-kasus terhadap kejahatan satwa dan lingkungan.

Turut hadir sebagai pembicara Catatan Akhir Tahun STFJ 2022 ini, Kepala Divisi SDA LBH Medan Muhammad Alinafia Matondang, Deputi Direktur Perlindungan Spesies dan Habitat Yayasan Orangutan Sumatera Lestari - Orangutan Information Center (YOSL-OIC), Muhammad Indra Kurnia dan Conservation Director-The Wildlife Whisperer of Sumatra(2WS), Badar Johan.

Rekomendasi