ERA.id - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatera Utara menyebut terjadi peningkatan kerusakan lingkungan di Sumut yang disertai meningkatnya eskalasi konflik masyarakat adat.
Direktur Eksekutif Walhi Sumut, Doni Latuparisa mengatakan kerusakan lingkungan tidak terlepas dari kebijakan pemerintah yang kontradiktif.
Di ruang internasional, pemerintah menyatakan keseriusan untuk mengatasi kerusakan lingkungan, tapi di sisi lain terus membagi-bagikan tanah konsesi.
"Di satu sisi menekan laju pemanasan global berkomitmen di Internasional, tapi di sisi lain justru membagi-bagi izin atau memperluas izin konsesi bagi perusahaan. Tentu ini kontradiksi dengan apa yang ingin dicapai yakni laju perubahan iklim," kata Doni.
Hal itu disampaikan Doni saat menggelar catatan akhir tahun bertajuk "Kejahatan Koorporasi - Negara Terhadap Lingkungan Hidup di Sumatera Utara" di Medan, Medan, Rabu (29/12/2021).
Doni mengatakan kejahatan kerusakan lingkungan akibat persekongkolan koorporasi dengan negara dapat dilihat dari semakin banyaknya industri ekstraktif di Sumatera Utara.
Kehadiran koorporasi menambah eskalasi konflik berupa perampasan tanah masyarakat adat. Seperti kasus yang terjadi di Desa Natumingka yang mempertahankan tanah ulayat melawan PT Toba Pulp Lestari (TPL).
"Kemudian kita lihat terjadi bencana ekologis di akhir tahun 2021 ini di Sumut yang menurut pemerintah sebagai dampak curah hujan tinggi. Tapi bagi Walhi menilai ini adalah dampak dari rezim bagi-bagi konsesi. Bencana ekologis yang dinarasikan Walhi adalah bencana yang disebabkan campur tangan manusia yakni terjadinya deforestasi di hulu," ungkapnya.
Walhi mencatat sedikitnya 15 kasus bencana alam terjadi sepanjang 2021di daerah yang terdapat koorporasi. Kemudian dilanjutkan dengan bencana banjir di beberapa daerah hilir termasuk di Kota Medan yang merugikan masyarakat.
"Ini bukan persoalan curah hujan yang tinggi. Tapi dampak perubahan iklim dan bagi-bagi konsesi. Jadi bencana ekologis ini adalah campur tangan manusia," pungkasnya.