ERA.id - Garam hasil petani di Kabupaten Simeulue, Aceh, tidak bisa dijual ke pasaran nasional karena terbentur dan belum mengantongi izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Zulfikar, petani garam, di Simeulue, mengatakan untuk mendapatkan izin pemasaran garam secara nasional itu membutuhkan waktu dan prosesnya panjang.
"Kalau izin usaha produksi garam sudah ada, namun SNI dan BPOM belum ada, sehingga garam lokal yang telah memiliki hak paten dari Menkumham RI ini belum bisa dijual ke pasar nasional," kata Zulfikar. dikutip dari Antara, Sabtu (29/1/2022).
Zulfikar mengatakan garam produksi petani Simeulue tersebut bermerek Daraba. Garam tersebut dikembangkan sejak 2018 dengan produksi lebih dari dua ton per bulan.
Untuk mendapatkan SNI, kata Zulfikar, dirinya harus menyiapkan sejumlah persyaratan. Di antaranya ruang penyimpanan garam, ruang yodium, ruang penggilingan, ruang pengemasan, ruang semi kemas, laboratorium, kantor, ruang penjemuran.
"Namun, hingga saat ini baru lima yang bisa kami siapkan, itu pun belum terlalu sempurna. Biaya yang telah habis untuk memenuhi persyaratan SNI tersebut lebih dari Rp200 juta," kata Zulfikar.
Kendati tidak bisa dijual secara nasional, kata Zulfikar, garam tanpa pengawet tersebut sudah dipasarkan di Kabupaten Simeulue, di antaranya digunakan nelayan lokal untuk pengasinan ikan.
Kami berharap, pemerintah daerah bisa membantu untuk mendapatkan izin pemasaran garam sesuai standar nasional, sehingga garam asli Pulau Simeulue ini bisa dijual di pasaran nasional," kata Zulfikar.
Sekretaris Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Simeulue Carles mengatakan pihaknya mendukung kegiatan yang dilakukan petani mengembangkan garam di kabupaten kepulauan di Samudera Hindia tersebut.
"Kami terus memberikan pendampingan dan juga bantuan meskipun terbatas. Produksi garam ini untuk meningkatkan perekonomian masyarakat di Kabupaten Simeulue," kata Carles.