ERA.id - Kepala RSAU dr Esnawan Antariksa, Kolonel Kesehatan Mukti Arja Berlian, mengungkap soal scretome booster yang berasal dari stem cell atau sel punca tali pusat manusia sebagai terapi COVID-19.
"Yang dimaksud Scretome booster ini adalah Mesenchymal Scretome Stem Cell (MSC) dari Stem Cell Tali Pusat Manusia," ujar Berlian dalam Podcast dokter Mukti Arja Berlian Sp PD di Jakarta, seperti dilihat Jumat (3/9/2021).
Menurutnya, orang yang telah dua kali mendapat vaksin Sinovac dan diberi booster suntikan Scretome Mesenchymal Stem cell akan lebih baik dan menjaga atau memperkuat vaksin Sinovac di dalam tubuh. Sehingga tubuh tidak mudah terpapar Covid-19.
"Booster akan mendorong Sel T Regulator untuk mengaktivasi lebih banyak sel limfosit B memori. Sel B memori inilah yang nanti berubah menjadi sel plasma yang akan memproduksi lebih banyak IgG / Antibodi spesifik untuk melawan Antigen spesifik Covid-19," kata Berlian.
Bagi pasien Covid-19, Berlian menyebut, sel punca ini dapat menghentikan badai sitokin, mencegah fibrosis paru, memperbaiki disfungsi paru, memperbaiki lingkungan mikro paru, melindungi sel epithel alveolar paru, dan meningkatkan fungsi paru.
Sedangkan, dokter Sugeng Ibrahim MBio Med menjelaskan, stem cell adalah sel biologis yang merupakan jejak utama DNA. Sel punca, secara historis ada pada saat proses manusia diciptakan, setelah sperma dan ovum bertemu.
Dia kemudian akan membelah, yang kemudian pada satu titik menjadi sel punca.
"Sel punca adalah awal terbentuknya sel dewasa. Yang kemudian terdefiriansi menjadi sel dewasa," jelasnya.
Dalam Podcast yang membahas "Booster atau vaksin" yang saat ini sedang diperbincangkan publik di masa pagebluk Covid-19, dokter Sugeng Ibrahim menerangkan sel punca memiliki kecerdasan yang luar biasa.
"Dulu, kalau kita sakit diabetes tipe dua, apalagi tipe satu, terapi ultimate-nya adalah anti diabetes insulin. Tidak terpikirkan kita kembali ke sel awal atau sel punca ciptaan Tuhan. Yang cerdas dan homing atau mampu menuju ke tujuannya sendiri-sendiri, dengan watak alaminya. Menuju ke tugas atau pendewasaannya masing-masing," imbuh Kepala Departemen Biologi Molekular di FK Unika Soegijapranata Semarang ini.
Dokter Sugeng Ibrahim yang sedang merampungkan program Doktoral ilmu Kedokteran di FK Undip menambahkan, pengetahuan kita selama ini, sel punca selesai seiring dengan proses pendewasaan, penuaan atau degeneratif, kemudian meninggal.
"Padahal, sel Punca mempunyai banyak keluarbiasaan. Seperti kalau ke sel pankreas ya menuju pankreas, kalau sel darah, ya menuju sel darah, dan tidak perlu diarahkan," terang periset stem cell di Stem Cell And Cancer Research, (SCCR), Semarang itu.
Meski demikian, tetap dibutuhkan teknologi masa kini untuk memaksimalkan keberadaan sel punca.
"Di mana teknologinya membutuhkan alat. Yang (bertugas) memilih dan memilah, berdasar besar molekul dan fungsinya. Caranya, dengan memilih dan memilih mayoritas, tidak murni," katanya.
Menurut alumni FK Kedokteran Undip dan FK Udayana itu, negara yang paling maju dalam hal penitian sel punca adalah AS dan Israel.
"Di AS bahkan telah membentuk Geno projects, mereka petakan gen-gen nya. Sehingga tahu betul memahami stem cell," ucapnya.
Selain itu, teknologi stemcell teknologinya rumit dan mahal, namun risikonya relatif kecil.
"harganya Rp500 jutaan untuk stemcell-nya, belum skriningnya, belum biaya rumah sakit. Makanya terobosan-terobosan diperlukan," ucapnya.