Sastra Jawa Kuno Ungkap Riwayat Pagebluk, dari Hukuman Batara Kala hingga Kirab Kyai Tunggul Wulung

| 11 Sep 2021 09:02
Sastra Jawa Kuno Ungkap Riwayat Pagebluk, dari Hukuman Batara Kala hingga Kirab Kyai Tunggul Wulung
Ilustrasi-Dua masyarakat Yogyakarta tempo dulu sedang membaca kitab primbon Jawa, foto diambil sekitar tahun 1880. (Foto: Istimewa)

ERA.id - Penelitian mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) mengungkap karya sastra dan tradisi lisan Jawa kuno yang telah mewartakan tentang wabah dan penanganan pandemi yang bisa jadi pelajaran untuk mengatasi Covid-19.

"Wabah Covid-19 yang tak kunjung usai menimbulkan berbagai pertanyaan, apakah wabah seperti ini belum pernah terjadi pada masa lalu? Seakan-akan Covid-19 menimbulkan persoalan baru dan kepanikan yang menyebabkan kita terlihat sangat kewalahan," kata Muhammad Ibnu Prarista, salah satu peneliti, Kamis (9/9).

Untuk itu, penelitian pun dilakukan di lingkup Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Kadipaten Pakualaman, Keraton Kasunanan Surakarta, dan Pura Mangkunegaran serta beberapa saksi hidup yang pernah mengalami pagebluk penyakit pes di Gunungkidul.

Rupanya, Ibnu mengungkapkan, orang Jawa kuno menangani pagebluk melalui pendekatan konseptual dan historis.

Secara konseptual, orang Jawa memaknai pagebluk sebagai sebuah fenomena kosmologi yang mendorong manusia untuk mengembalikan keselarasan antara manusia dengan sesama, manusia dengan lingkungan, dan manusia dengan Tuhan.

Ilustrasi-Manuskrip kuno koleksi Keraton Yogyakarta saat dipamerkan di Pameran Sekaten 2019. (Wawan H/ERA.id)

Konsep tersebut dijelaskan melalui sastra tulis berupa naskah Jawa dan melalui sastra lisan dalam beberapa ajaran yang diterapkan dalam kehidupan masyarakat Jawa seperti Mangasah mingsing budi, memasuh malaning bumi, memayu hayuning bawana.

Ia menjelaskan, pagebluk terjadi karena hukuman dari Bathara Kala kepada orang yang tidak pernah menghargai dan peduli kepada sesama dan lingkungan, dan Tri Hita Karana.

Dalam karya sastra itu, pagebluk pada abad ke-16 dan 20 berupa malaria, tuberkolosis, penyakit kulit gudhig, cacar, pes, kolera, dan influenza.

Wabah-wabah itu diungkap dalam naskah Jawa seperti Lelara Tuberkolose, Lelembut Kolerah, dan Lelara Influenza.

“Seluruh naskah menjelaskan pentingnya menerapkan pola hidup bersih dan isolasi mandiri bagi orang sakit, serta berbagai upaya seperti suntik vaksin sudah diterapkan pada masa itu,” kata Ibnu.

Penelitian ini bagian Program Kreativitas Mahasiswa bidang Riset Sosial Humaniora yang menerima pendanaan penuh dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi.

Selain Ibnu, tim ini beranggotakan Taruna Dharma Jati dari Fakultas Ilmu Budaya dan Zalsabila Purnama dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Selain karya sastra tulis, karya sastra lisan memuat upaya penanganan pagebluk secara kosmologi yang diwujudkan dalam bentuk tradisi budaya yakni Kirab Kanjeng Kyai Tunggul Wulung, Upacara Wilujengan Nagari Mahesa Lawung, dan Barikan.

“Tradisi budaya itu adalah upaya untuk memohon keselamatan kepada Tuhan dan merupakan perintah pemimpin atau raja, sehingga apabila dipercayai maka dapat meningkatkan imunitas tubuh dan meminimalkan kepanikan masyarakat,” kata Taruna.

Taruna menyampaikan, penanganan pagebluk secara kosmologi menekankan pentingnya menjaga hubungan antara manusia dengan sesama, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan.

Sementara penanganan pagebluk secara fisik adalah tentang pentingnya menjaga pola hidup bersih diri sendiri dan lingkungan serta isolasi mandiri untuk orang yang sakit.

"Dengan adanya pengetahuan tentang jejak pagebluk dan upaya penanganannya di masa lampau, diharapkan dapat menjadi salah satu strategi menghadapi wabah di masa kini dan upaya preventif masa depan melalui dua pendekatan yakni pendekatan kebudayaan dan politik kebijakan," ujarnya.

Rekomendasi