Perang Saraf Jelang Pemilu ke-15 Malaysia, Muhyiddin Yassin: Pencalonan Saya Bukan Omong Kosong!

| 12 Nov 2022 10:45
Perang Saraf Jelang Pemilu ke-15 Malaysia, Muhyiddin Yassin: Pencalonan Saya Bukan Omong Kosong!
Mantan PM Malaysia dan Ketua Perikatan Nasional (PN) Muhyiddin Yassin. (Wikimedia Commons/Perikatan Nasional Malaysia)

ERA.id - Perikatan Nasional (PN) mencalonkan Muhyiddin Yassin sebagai perdana menteri untuk Pemilihan Umum ke-15 (GE15) di Malaysia. Menanggapi sindiran dari lawan politiknya, ia bilang pencalonannya sebagai perdana menteri bukan khayalan dan PN tidak bicara omong kosong.

Sebelumnya, Ketua Barisan Nasional (BN) Ahmad Zahid Hamidi menyatakan bahwa PN telah gagal dan langkah mereka untuk memilih calon perdana menteri seperti sedang berkhayal.

Muhyiddin mengatakan bahwa keputusan itu dibuat oleh kepemimpinan koalisi karena masyarakat ingin tahu siapa perdana menteri jika PN memenangkan GE15.

“Itu bukan khayalan, kami realistis, tidak bicara omong kosong. Ada dasar, dan ini keputusan pimpinan PN untuk menunjuk calon perdana menteri," katanya, Jumat (11/11/2022) seperti dilansir dari Channel News Asia. "Rakyat ingin tahu apakah calon perdana menteri nanti berasal dari kelompok yang adil atau mantan narapidana," lanjutnya.

Ketua PN itu menyindir Ketua BN Ahmad Zahid yang pernah terjerat kasus korupsi pada 2018 dan sempat ditahan sebelum dinyatakan bebas oleh Pengadilan Tinggi Shah Alam Malaysia, Jumat (23/9/2022).

BN juga telah mengumumkan kandidat perdana menteri yaitu Ismail Sabri. Namun, ada spekulasi kuat bahwa Ahmad Zahid mungkin mencoba mengambil jabatan itu jika koalisinya memenangkan jajak pendapat pada 19 November nanti. Mantan wakil perdana menteri itu membantah rumor tersebut.

Pada hari Kamis (10/11/2022), Muhyiddin mengatakan dia yakin bahwa dukungan masyarakat terhadap PN semakin meningkat berdasarkan respon luar biasa yang dia lihat selama kampanye GE15.

Ia mengatakan sebagian besar orang yang ia temui saat kampanye telah menyatakan keinginan mereka untuk mereformasi administrasi negara.

“Mungkin karena mereka ingin pemerintah yang lebih perhatian dan bertanggung jawab, mengingat kehidupan tidak begitu baik pasca pandemi COVID-19,” katanya, dikutip dari Bernama.

Rekomendasi