ERA.id - Seorang pasien lanjut usia di Seattle, Amerika Serikat, yang telah sembuh dari COVID-19 pada bulan April, kembali terinfeksi COVID-19 pada bulan Agustus lalu. Peneliti menemukan virus korona yang menginfeksinya untuk kedua kali berbeda dari yang pertama, dan memiliki mutasi gen D614G.
Pada Maret lalu, lansia, yang tinggal di panti jompo kota Seattle, sakit parah karena tertular COVID-19 dari seorang staf yang baru saja pulang berlibur dari Filipina. Namun, ia perlahan-lahan sembuh satu bulan kemudian. Sayangnya, setelah pindah ke panti jompo lain, tiga bulan kemudian ia mulai merasakan batuk kering dan mudah lelah. Setelah dites, ia ternyata kembali positif terinfeksi COVID-19.
Setelah diteliti, virus SARS-CoV-2 yang ada di tubuhnya pada bulan Maret dan Juli tidak sama. Di bulan Maret, DNA virusnya adalah mirip dengan yang berasal dari Wuhan, China. Sementara itu, di bulan Juli, ia terjangkit oleh virus korona yang telah bermutasi dengan kode mutasi D614G.
Jason Goldman, peneliti Swedish Medical Centre yang merilis penelitian mengenai pasien Seattle tersebut di jurnal MedRxiv, Jumat (25/9/2020), menuliskan bahwa sel imun sang pasien perlu waktu 18 hari, atau lebih lama dari yang seharusnya, untuk merespon infeksi ulang dari virus COVID-19 itu. Makalah itu juga menyebutkan bahwa gejala, seperti demam, tidak terlalu parah di infeksi kedua.."
Tim riset Goldman juga menemukan bahwa antibodi dari infeksi kedua justru menghasilkan respon yang lebih kuat terhadap mutasi virus COVID-19 versi D614G.
"Bila disimpulkan, antibodi akibat infeksi [COVID-19] di bulan Maret tidak terlalu kuat dalam menangkal infeksi ulang dari mutasi D614G yang didapatkan pada bulan Juli," tulis makalah tersebut.
Tak Pengaruhi Riset Vaksin
Mutasi virus menjadi perhatian sejumlah pakar bidang kedokteran. Dikutip oleh South China Morning Post (SCMP), seorang virolog dari Academy of Military Medical Sciences, Chen Wei, mengakui bahwa timnya setiap hari terus memonitor basis data sekuens genom virus korona yang ada di berbagai negara.
Sebagai salah satu pengembang vaksin COVID-19, ia ingin mengetahui apakah mutasi D614G mengakibatkan suatu perubahan fungsu dan struktur dari virus korona yang berusaha ditanggulangi.
"Sejauh ini dampak mutasi D614G terbilang sangat kecil," kata dia.
Kasus infeksi ulang oleh virus korona yang telah bermutasi bisa berdampak bagi program pengembangan vaksin. Berdasarkan laporan SCMP, hampir semua riset vaksin yang sedang berjalan didasarkan pada sekuens genome yang dirilis oleh peneliti China di bulan Januari lalu. China bahkan telah memberikan calon vaksin buatannya ke sejumlah diplomat, tenaga medis dan pasukan militer.
Sementara itu, perusahaan farmasi Sinopharm Group, yang mengembangkan vaksin Sinovac, menyebutkan bahwa mereka telah memiliki bukti kemanjuran vaksin mereka, termasuk terhadap mutasi genetik D614G.