ERA.id - Sebuah eksperimen bakal dijalankan Januari nanti untuk mencari tahu apaah memadu-padankan dua vaksin COVID-19 akan menghasilkan proteksi imunitas yang lebih baik daripada dua dosis suntikan dari vaksin yang sama, demikian disampaikan sebuah satuan tugas di pemerintahan Inggris.
Pengujian itu baru berjalan jika vaksin Universitas Oxford/AstraZeneca mendapat persetujuan dalam beberapa pekan ke depan. Metode eksperimen ini hanya diijinkan untuk produk vaksin yang sudah disetujui.
Berita ini muncul di tengah berjalannya program vaksinasi COVID-19 di Inggris yang dimulai Selasa (8/12/2020) lalu. Vaksin yang kini dipakai adalah buatan Pfizer/BioNTech.
Pada uji coba Januari nanti, para relawan akan mendapat satu kali suntikan vaksin AstraZeneca, dan satu kali vaksin Pfizer. Vaksin Moderna juga bisa diikutsertakan bila ia disetujui oleh badan pengawas obat dan makanan (FDA) Amerika Serikat.
Vaksin Pfizer dan Moderna sama-sama memiliki tingkat kemanjuran hingga 95 persen dalam melindungi seseorang dari virus korona baru. Sementara untuk AstraZeneca, tingkat efikasinya adalah antara 62-90 persen, tergantung pada dosis yang digunakan.
Kate Bingham, salah satu petinggi di satgas vaksin Inggris, berkata bahwa ujicoba 'mencampur' produk vaksin ini tidak disebabkan oleh minimnya stok vaksin korona di Inggris. Pemerintah Inggris sendiri mengaku telah memesan 40 juta dosis vaksin Pfizer dan 100 juta vaksin Oxford/AstraZeneca, seperti diberitakan The Guardian.
"Ini bukan karena suplai," kata Bingham. "Kami mencoba memacu respon kekebalan tubuh dan durasi ketahanannya, dan tak ada sangkut-pautnya dengan jenis vaksin yang kami dapatkan."
Konsep mencampur vaksin ini disebut sebagai 'heterologous prime-boost', yang pada dasarnya adalah memadu-padankan beberapa vaksin, seperti disampaikan Bingham.
"Jadi, Anda membangun lapisan dasar dengan satu vaksin lalu untuk lapisan kedua - entah dalam jeda 28 hari atau sebulan setelah suntikan pertama - Anda menggunakan vaksin lainnya."
Vaksin berbasis virus seperti yang digunakan Oxford, yang menggunakan virus demam simpanse, membangun respon seluler yang lebih baik sehingga memperkuat sel T untuk membunuh sel-sel yang terinfeksi virus korona baru. Sementara itu, vaksin mRNA, seperti yang dipakai Pfizer, cenderung mendorong respon antibodi. Dengan memadukan kedua jenis vaksin, entah dalam urutan manapun, seseorang diharapkan memiliki proteksi yang lebih baik terhadap virus SARS-CoV-2.
"Belum pernah ada yang mencobanya langsung ke manusia. Dan karena sudah tersedia beberapa vaksin, kita perlu melakukan penelitian itu karena dengan itu kita bisa menciptakan respon imun yang lebih baik," kata Clive Dix, wakil ketua satgas itu, saat memaparkan laporan kerja satgas tersebut selama 6 bulan terakhir.
Inggris dikabarkan telah memesan tujuh jenis vaksin COVID-19. Tiga di antaranya - Oxford/AstraZeneca, Valneva dan Novavax - diproduksi langsung di Inggris. Sementara itu, dosi-dosis pertama vaksin AstraZeneca diproduksi di Belanda dan Jerman, namun Inggris sudah menerima 4 juta dosis vaksin buatan perusahaan asal Inggris-Swedia itu.
Hingga kini regulator obat dan makanan di Inggris masih belum memberi persetujuan terhadap vaksin Oxford/AstraZeneca, meski telah meninjau seluruh data dan informasi keamanan dan kualitas produk tersebut selama beberapa bulan.
Data uji klinis vaksin Oxford/AstraZeneca, yang melibatkan 24.000 relawan, juga belum dirilis sehingga dunia medis belum bisa memprediksi bagaimana regulator setempat melihat potensi vaksin tersebut.