ERA.id - Di tengah usaha pemerintah Jepang untuk menggelar Olimpiade Tokyo 2020 yang tertunda akibat pandemi virus corona, sikap pesimistis justru muncul dari warganya yang meyakini agenda olahraga terbesar di dunia itu tidak bisa dilangsungkan secara aman.
Penundaan olimpiade yang diputuskan bulan Maret 2020 oleh pemerintah Jepang dan Komite Olimpiade Internasional (IOC), direncanakan akan dimulai lagi dalam waktu kurang dari 200 hari, yaitu pada 23 Juli hingga 8 Agustus.
Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga pada hari Kamis menegaskan kembali niatnya untuk mengadakan olimpiade, dilansir Reuters, Sabtu (9/1/2021).
Namun, jajak pendapat di bulan Desember oleh penyiar publik NHK menunjukkan sepertiga penduduk Jepang ingin olimpiade dibatalkan karena kekhawatiran masuknya orang asing dapat menyebabkan lonjakan lebih lanjut dalam kasus COVID-19.
Dalam jajak pendapat yang sama, 31 persen responden memilih penundaan lagi, sementara hanya 27 persen yang mengatakan olimpiade harus berjalan sesuai jadwal.
"Saya pikir itu sulit. Tidak mungkin mengadakan olimpiade," kata Tatsuhiko Akamasu, yang mengunjungi Tokyo pada hari Jumat dari Saitama yang berdekatan.
"Ini hanya dua setengah bulan sebelum obor estafet. Saya tidak berpikir kita bisa mengendalikan virus selama periode ini," kata pria berusia 75 tahun itu.
Estafet obor 121 hari, yang biasanya menandai hitungan mundur ke olimpiade, akan dimulai di Fukushima pada 25 Maret.
"Saya pikir kemungkinan besar jangan menyelenggarakan olimpiade, dan saya lebih suka pemerintah membuat keputusan pada suatu saat untuk membatalkannya," kata Hisashi Miyabe, 74 tahun.
Lebih dari 15.000 atlet dari seluruh dunia diperkirakan akan turun ke Tokyo untuk mengikuti olimpiade, yang mengarah pada kekhawatiran bahwa mereka mungkin membawa mutasi baru dari virus tersebut ke Jepang.
"Interaksi antar manusia akan menyebabkan penyebaran lebih lanjut dari virus corona, dan kemungkinan besar virus tersebut dapat bermutasi jika jumlah infeksi meningkat. Saya merasa itu agak menakutkan," kata Yuki Furusho, seorang mahasiswa berusia 23 tahun mengutarakan pendapatnya