ERA.id - Pasukan bersenjata di Myanmar telah mulai menyiagakan kendaraan lapis baja di sejumlah kota besar di Myanmar pada Senin, (15/2/2021) pagi, atau dua pekan setelah pihak militer melancarkan kudeta dan menggulingkan kepala pemerintahan yang sah, Aung San Suu Kyi.
Berdasarkan laporan Reuters, kendaraan lapis baja telah memasuki jalanan kota Yangon, Myitkyina, dan Sittwe sejak Minggu malam. Ini menjadi unjuk kekuatan militer dalam skala besar yang pertama yang terjadi di Myanmar semenjak terjadinya kudeta.
Pada Senin, belasan truk polisi dengan kendaraan meriam air disiapkan dekat gedung Sule Pagoda di Yangon, pusat bisnis yang menjadi salah satu episentrum aksi unjuk rasa. Sejumlah pengunjuk rasa masih berkumpul di depan bank sentral dan kedutaan besar China, seperti dilaporkan Reuters.
Tatmadaw vehicles on the streets of Yangon this evening. In a joint statement, 15 foreign embassies in Myanmar have called on security forces to "refrain from violence" against those "protesting the overthrow of their legitimate government". #WhatsHappeningInMyanmar pic.twitter.com/15dshXQi5F
— Frontier Myanmar (@FrontierMM) February 14, 2021
Pada Senin dini hari, banyak warga Myanmar melaporkan koneksi internet yang mati. Keempat jaringan telekomunikasi di negara itu tak beroperasi dari kira-kira pukul 1 pagi pada Senin hingga pukul 9 pagi. Saat ini koneksi internet telah kembali normal.
Masa penahanan terhadap Aung San Suu Kyi, atas dakwaan mengimpor alat walkie-talkie secara ilegal, bakal berakhir pada Senin. Namun, pengacaranya, Khin Maung Zaw, masih belum bisa dimintai keterangan, lapor Reuters.
Memasuki hari kesembilan aksi unjuk rasa menolak kudeta, telah ada ratusan ribu warga Myanmar yang turun ke jalan menolak pendongkelan proses transisi menuju demokrasi oleh pihak Tatmadaw, panggilan untuk junta militer.
Kericuhan yang terjadi seperti membangkitkan ingatan demonstrasi berdarah selama masa-pemerintahan militer sepanjang hampir 50 tahun. Masa tersebut baru berhenti pada 2011, ketika militer memulai prosesi mundur dari politik sipil.
Salah satu kegentingan akhir-akhir ini disebabkan penangkapan sejumlah aktivis pada Sabtu malam. Pada Minggu, junta militer mengumumkan amandemen hukum yang diarahkan untuk meredakan pertentangan.
"Seakan-akan para jenderal ini sedang berperang melawan rakyat," kata Tom Andrews, pengamat khusus PBB, via Twitter.
"Penggeledahan di tengah malam; penangkapan; perampasan hak warga; pemutusan koneksi internet; konvoi militer memasuki kawasan hunian warga. Ini tanda-tanda keputusasaan. Para jenderal, dengarkan ini: Anda bakal diminta bertanggungjawab atas semua ini."
Sejumlah kedutaan besar, mulai dari Uni Eropa, inggris, Kanada hingga 11 negara lainnya, juga telah membuat pernyataan khusus. Pada Minggu mereka mendesak agar "pasukan bersenjata tidak melakukan kekerasan terhadap rakyat sipil, yang sebenarnya memprotes digulingkannya pemerintahan yang sah."