ERA.id - Peningkatan intimidasi militer China mendesak Taiwan, yang memerintah diri secara independen, untuk bersiap menghadapi kemungkinan konflik militer, seperti disampaikan Menteri Luar Negeri Taiwan Joseph Wu.
Pernyataan Menlu Wu disampaikan dalam wawancaranya dengan CNN, (24/6/2021), atau sepakan setelah wilayah pertahanan udara Taiwan - yang mereka namai Air Defense Identification Zone (ADIZ) - didekati oleh puluhan pesawat China.
Melansir CNN, 'rongrongan' tersebut, dalam bentuk rombongan 28 pesawat perang hingga pengebom China, tidak melanggar zona udara Taiwan atau hukum internasional. Namun, hal itu dianggap sebagai 'show of strength' oleh militer China.
"Sebagai pengambil kebijakan Taiwan, kami tak bisa menunggu, kami harus bersiap-siap," kata Wu, pada Rabu.
"Saat pemerintah China mengatakan mereka tak bisa mengeliminasi penggunaan persenjataan, dan ternyata mereka melakukan latihan militer di sekitar Taiwan, kami lebih meyakini bahwa (ancaman) itu nyata."
Menlu Wu, yang telah menjabat sejakk 2018, sendiri dtuduh Beijing "kaum separatis ngotot" setelah membuat pernyataan di sebuah konferensi pers bahwa Taiwan bakal bertempur "hingga hari terakhir" bila diserang oleh China.
Juru bicara China untuk Kantor Urusan Taiwan, Zhu Fenglian, mengatakan bahwa penghentian kemerdekaan Taiwan adalah "prasyarat penting" untuk mempertahankan perdamaian lintas selat.
"Joseph Wu secara arogan telah berulang kali memprovokasi 'kemerdekaan Taiwan'... Kami akan melakukan hal-hal yang diperlukan untuk menghukum sepanjang hidupnya kaum kolot 'kemerdekaan Taiwan', sesuai dengan hukum yang berlaku."
Menlu Wu mengaku merasa 'terhormat' karena menjadi incaran pemerintah Komunis di Beijing.
"Rezim otoriter tak bisa menghargai kebenaran. Jika mereka terus mengatakan bahwa mereka hendak mengincar saya sepanjang hidup saya, saya pun tak masalah dengan itu," kata dia.
Melansir CNN, Taiwan dan China daratan telah memiliki pemerintahan yang terpisah sejak pecahnya perang sipil lebih dari 70 tahun yang lalu. Kaum Nasionalis yang kalah waktu itu melarikan diri ke Taipei, Taiwan.
Meski begitu, Beijing masih menganggap Taiwan sebagai bagian tak terpisahkan dari teritori mereka, meski Partai Komunis China tidak pernah mengendalikan pemerintahan demokratis di pulau berpenduduk 24 juta orang itu.