Berkunjung ke Ban Seng: Toko Obat China Legendaris

| 22 Jan 2023 17:15
Berkunjung ke Ban Seng: Toko Obat China Legendaris
Ilustrasi. (ERA/Luthfia Arifah Ziyad)

ERA.id - Alwi Shahab pernah bilang dalam bukunya Waktu Belanda Mabuk Lahirlah Batavia, ada banyak hal untuk mengenang Glodok: ribuan orang China yang dibantai kejam oleh Belanda, nostalgia Imlek, Cap Go Meh (malam ke-15 Imlek), hingga Peh Cun (hari ke-100 Imlek). 

Saat kami ke Pecinan Glodok Kamis lalu (19/1/2023), bau Imlek sudah menguar sejak mobil kami melewati gapura berukiran naga yang belum lama dibangun. Di balik gapura itu para pedagang berjejer menjual hiasan Imlek serba merah: Lampion, amplop angpao, baju, hingga gantungan barongsai kecil-kecil. Imlek masih tiga hari lagi.

Glodok, ada yang bilang berasal dari kata grojok, tiruan bunyi kucuran air dari pancuran. Rachmat Ruchiat dalam bukunya Asal-Usul Nama Tempat di Jakarta bilang, sekitar tahun 1670, ada semacam waduk penampungan air dari Ciliwung yang dikucurkan dengan pancuran kayu di sana. Orang-orang Tionghoa totok sering mengucapkannya sebagai Grojok.

Ruko-ruko di Glodok yang dipenuhi toko-toko obat tradisional China. (ERA/Agus Ghulam)

Mobil yang membawa kami bergerak perlahan seperti nenek menyeberang jalan. Dua jalur keluar-masuk kawasan itu dibelah Kali Besar yang disambungkan beberapa jembatan kecil. Kami turun di depan Pasar Glodok dan menyeberang jembatan sambil mengabaikan beberapa pengemis yang memalak di tangga.

Di sisi kanan dari arah masuk gapura, berjejer ruko-ruko tua yang teduh sepanjang Jl. Pancoran hingga Chinatown Point. Toko-toko obat tradisional China mengisi ruko-ruko tadi, sebagian tampak baru dan yang lain sudah berumur, terlihat dari pelang namanya yang usang dan warnanya luntur. Dua toko yang kelihatan betul paling senior adalah Tay Seng Ho dan Ban Seng. 

Kami lalu mampir ke Ban Seng, berharap dapat bertemu langsung sang sinshe. “Sinshe enggak bisa ditemui, maaf,” ujar Susan Berliana, istri pemilik Ban Seng generasi ketiga. “Kalau mau ambil-ambil gambar boleh.” 

Susan Berliana, istri dari pemilik Toko Obat Ban Seng generasi ketiga. (ERA/Agus Ghulam)

Perempuan tua itu mempersilakan kami masuk melihat-lihat. Ia duduk tenang di meja kasir menunggu pelanggan yang butuh kembalian. Usianya sudah lewat 70 tahun, belum butuh tongkat jalan dan bicaranya masih jelas, meski suara kami harus agak keras saat mengobrol dengannya. Dan seperti kebanyakan orang-orang tua, ia bercerita dengan panjang dan baik.

Cerita di balik nama Ban Seng

Susan menikahi Wikanto Yusuf puluhan tahun silam setelah lelaki itu ditinggal mati istri pertamanya. “Suami saya cucu pertama laki-laki, dan di tradisi kami cucu pertama jadi kesayangan,” ia bercerita. “Makanya dia disayang banget sama kakeknya.” 

Kakek Wikanto berasal dari Fujian, China dan datang ke Jakarta pada tahun 1930 untuk berdagang. Ia lalu membuka Toko Obat Ban Seng pada 1933. Pada tahun yang sama Wikanto lahir. Susan berkisah kalau Ban Seng aslinya bernama Wàn Chéng. “Wàn kan sepuluh ribu, ribuan. Chéng itu sukses,” ucapnya.

Kakek Wikanto konon mati ditembak Jepang, cerita Susan. Ban Seng lalu diwariskan ke anaknya, dan Wikanto mewarisi itu dari ayahnya selulus SMA, sekitar tahun 1953. Kini umurnya sudah 90 tahun. Saat kami mampir ke tokonya kemarin, lelaki tua itu duduk menyepi di pojokan. Susan bilang suaminya tak bisa diwawancara karena kemampuan mendengarnya sudah merosot jauh.

Toko obat legendaris itu kini diwarisi anak kedua mereka. Namun, Susan dan Wikanto masih rutin menjaga toko karena anak mereka baru melahirkan dan tak bisa lama-lama meninggalkan rumah. 

“Dia dapat anaknya susah, yang pertama bayi tabung gagal, kedua nyoba lagi, gagal. Ketiga baru dapet, makanya disayang banget,” cerita Susan. “Dulu bilangnya abis menyusui bakal sering ke sini, ditunggu setahun, dua tahun, eh sekarang udah dua tahun lewat masih nyusuin anaknya.” Susan tertawa kecil.

Lebih dekat dengan pengobatan tradisional China

Biasanya Ban Seng hanya libur pada hari Minggu, tapi menjelang Imlek tahun ini mereka hanya buka sampai Kamis. “Kalau mau Imlek agak sepi, enggak serame biasanya,” ucap Susan. “Orang-orang lebih nyari makanan daripada obat.” Katanya, pas sedang ramai-ramainya, bisa belasan pasien mengantri untuk diperiksa sinshe.

Kami ingin sekali bertemu sinshe, sayangnya ia belum berkenan ditemui selain oleh pasien. Namanya Soeryanto. Ia praktek di Ban Seng sudah lebih dari 50 tahun dan belajar pengobatan China turun-temurun secara tradisional. Pasien harus membayar Rp150 ribu untuk sekali periksa dengannya. Setelah itu ia akan memberikan resep obat yang bisa ditukar di toko. “Harga racikan obatnya beda-beda, tergantung resepnya,” ucap Susan.

Soeryanto buka praktek dari jam 9 pagi hingga 3 sore. Setelahnya ia akan digantikan oleh sinshe yang lebih muda, Wahyu Yusuf. Lain dengan Soeryanto, Yusuf belajar pengobatan China secara akademis di Universitas Guangzhou, China. Mungkin karena ijazah yang didapatnya, harga prakteknya lebih mahal sedikit ketimbang Soeryanto. 

“Kalau sinshe yang muda sekali ketemu 250 ribu,” ucap Susan. Namun, sejak pandemi Yusuf lebih sering praktek di rumahnya dan hanya sesekali datang ke Ban Seng.

Tampak depan Toko Obat Ban Seng. (ERA/Agus Ghulam)

Susan sendiri pernah belajar sebentar pengobatan tradisional China di Cikarang sebelum tempat kursusnya tutup. “Nah, obat Chinese itu sistemnya sistem Yin Yang,” ujarnya. “Itu keseimbangan, jadi kalau orang yang Yang, panas kan, dikasih yang dingin. Kalau orang yang dingin dikasih yang barang panas-panas tuh, sampai panas bener.”

Untuk mengetahui kondisi Yin Yang itu dibutuhkan sinshe terlatih. “Makanya, obat untuk orang yang Yang itu yang Yin enggak bisa makan walaupun penyakitnya sama,” jelas Susan. “Obat China beda sama obat barat, kalau obat barat kan ini obat sakit kepala semua bisa makan.”

Susan mengakui pengobatan China hanya salah satu jenis pengobatan dan tak bisa mengobati semua penyakit. Ada penyakit yang bisa ditangani dokter tapi tidak dengan sinshe, begitu juga sebaliknya. 

“Kayak cacar uler, terus terang itu penyakit eksim dokter enggak bisa,” ucapnya. Ada pasien sini cerita, dia bilang katanya dia ke rumah sakit Pantai Indah Kapuk. Haduh dokternya suruh macem-macem enggak bisa bae, itu udah masuk ke saraf. Kalau kita gampang sekali.”

Apoteker dalam pengobatan tradisional China

Selain punya dua orang sinshe, Ban Seng juga mempekerjakan tiga orang pegawai untuk meracik obat. Merekalah yang bertugas sebagai apoteker di sana. Berbeda dengan pengobatan modern yang banyak menggunakan bahan kimia, pengobatan China sepenuhnya alami. Bahan-bahannya diambil dari berbagai tanaman herbal hingga hewan yang dianggap punya khasiat tertentu seperti kuda laut.

Ban Seng terdiri dari tiga lantai, yang pertama untuk menjual obat dan praktek sinshe, lantai kedua dan ketiga untuk mengolah obat mentah yang diimpor dari China. Di lantai pertama itu berjejer kendi-kendi tembikar, toples-toples kaca, dan rak-rak kayu berisi ratusan jenis rempah-rempahan: mulai dari Lu Tong, Tan Sen, Muk Siang, hingga Hung Co. Racikan obat dari rempah-rempah tadi disebut Ciak Po

Simon salah satu peracik obat di Ban Seng. Saat ditanya sudah berapa lama kerja di sana, ia menjawab belum lama. “Baru dari tahun 2006,” ucapnya sambil tertawa. “Itu saya yang paling muda di sini.”

Simon, salah seorang peracik obat di Ban Seng yang bekerja sejak 2006. (ERA/Agus Ghulam)

Simon hitungannya masih keponakan Susan. Ia dibawa oleh tantenya ke Ban Seng untuk bantu-bantu dan ternyata jadi yang paling cepat menyerap ilmu meracik obat China di sana. Matanya awas membaca resep dan tangannya dengan cekatan menimbang rempah-rempah dengan alat yang disebut Chien, timbangan yang sumbunya diatur dengan jepitan jemari.

Bahan-bahan yang sudah ditimbang dengan teliti dibungkus dalam kertas cokelat berstempelkan Ban Seng dan siap untuk direbus di rumah.

Selain itu, Ban seng –seperti halnya toko obat tradisional China lainnya– juga menyediakan obat-obat jadi berbentuk kapsul hingga salep yang diimpor dari China. Mereka menjamin obat-obatan itu legal dan aman dikonsumsi, selama sesuai dengan anjuran sinshe. Harganya juga beragam, dari puluhan ribu hingga yang paling mahal Rp1,6 juta. 

“Pien Tze Huang, itu paling mahal,” ujar Susan lalu mengambilkan sekotak kecil Pien Tze Huang dari dalam rak yang berisi enam kapsul. “Ini katanya manjur buat ngeringin luka operasi, tapi enggak boleh langsung diminum, nunggu tiga hari.”

***

Lewat pukul dua belas, matahari sudah lewat dari atas kepala. Meski dibilang tak ramai, selang beberapa menit sekali ada saja pelanggan yang mampir ke Ban Seng, entah untuk menukar resep atau sekadar beli obat cacing. Perut kami mulai terasa lapar dan tentu obatnya tak tersedia di sana. Setelah rampung memotret sudut-sudut toko tua itu, kami pamit untuk menyisir jajanan di Pecinan dan mampir ke Kopi Es Tak Kie. Mata Susan mengantar kami dari jauh.

Rekomendasi