Standar Ganda Memandang LGBTQ di Indonesia

| 17 Jun 2022 16:04
Standar Ganda Memandang LGBTQ di Indonesia
Ilustrasi (Nisa/ERA.ID)

ERA.id - Perdebatan soal LGBTQ (lesbian, gay, biseksual, transgender, dan queer) seperti tak pernah usai. Di wilayah Kalibata, beberapa pasangan gay bermesraan di dalam sebuah kafe. Setelah video mereka beredar di media sosial, kafe tersebut pun ditutup sementara. 

Isu ini sempat santer lagi dibicarakan ketika Deddy Corbuzier mengundang pasangan gay Ragil Mahardika di podcast-nya. Namun, ada sebuah kejanggalan, kenapa hanya Ragil yang menuai kecaman, padahal sebelum Ragil sudah ada pasangan lesbian yang tampil di kanal YouTube Deddy Corbuzier dan selamat dari kecaman warganet. Misal, pasangan lesbian Chika Kinsky-Yumi Kwandy dan Jeje-Nino.

Pasangan lesbian, Chika Kinsky-Yumi Kwandy juga pernah tampil di kanal YouTube The Leonardo's dan warganet seperti terbuka dengan aktivitas pasangan sesama jenis tersebut.

Atau, yang sedang hangat, yakni gugatan Ragil atas kemesraan dua laki-laki di televisi. Menurut Ragil dalam akun TikTok-nya bahwa “[mereka] masak bareng, saling bangun-bangunin, terus ditonton. Rame. Banyak banget. Giliran aku yang jelas resmi menikah. Tapi aku dihujat satu Indonesia. Giliran yang sebelah situ, yang wara-wiri di tv, romantis-romantisan, dipuji-puji.”

Dua sosok yang dibicarakan Ragil, diduga adalah Victor Agustino dan Jonathan Alden—peserta Masterchef Indonesia Season 9. Dari segi fisik, kulit mereka cerah, wajah mereka mirip oppa-oppa Korea. Mereka diterima dan disenangi di media sosial dan di televisi. Mereka berdua kerap berbagi aktivitas sehari-hari dan menunjukkan kemesraan. 

Yang menjadi pertanyaan, apakah Victor dan Alden pasangan gay atau hanya sebatas bestie/sahabat? Atau hanya bromance? Dalam Cambridge Dictonary, bromance diartikan sebagai ‘hubungan dekat antara laki-laki, tetapi tanpa ikatan seksual’.

Mengapa Chika-Yumi dan Victor-Alden diterima? Tidak sedikit yang warganet berkomentar di Twitter mengatakan bahwa itu semua tidak lepas dari fantasi masing-masing. Laki-laki punya fantasi terhadap pasangan Chika-Yumi dan perempuan juga punya fantasi kepada Victor-Alden. 

Belum lagi sosok Lucinta Luna yang kerap wara-wiri di beberapa program televisi dan hadir di kanal-kanal YouTube yang memiliki jumlah pengikut yang banyak. Atau Millen Cyrus yang juga hadir di sejumlah podcast.  Mereka masih diterima. 

Mengambil pernyataan Aldiansyah Azura—seorang queer dan pegiat seni di Rawamangun, Jakarta Timur—saat dihubungi oleh redaksi ERA.id bahwa itu ada faktor fantasi laki-laki ketika melihat pasangan lesbian dan masih kuatnya budaya patriarki dan maskulinitas mereka.

Bila memang ada penerimaan yang jujur terhadap LGBTQ, mereka semestinya dipandang setara sebagai manusia, bukan karena ada unsur lain. 

"Sebenarnya bukan lebih diterima (pasangan lesbian) itu kan sebenarnya karena faktor fantasi dari laki-laki. Jadi kalau melihat lesbian mereka nggak masalah dengan itu, masih diterima, karena budaya patriarki dan maskulinitas," kata dia.

Begitu juga dengan perempuan straight jika melihat karya fiksi tentang idolanya yang jadi gay, semata-mata hanya memenuhi fantasi. Bukan berarti membela komunitas LGBTQ.

"Itu kan sebenarnya fantasi juga tapi sebenarnya mereka tidak membela komunitas LGBT. Jadi apakah diterima atau tidak, menurutku enggak sih. Mereka juga nggak nerima itu sebenarnya."

Adam Salsa Novarin dan Shary Charlotte Henriette Pattipeilhy dalam artikel mereka, “Perspektif Feminisme dalam Memahami Permasalahan Hak Asasi Manusia Kelompok Queer di Kota Semarang, Indonesia”, mengatakan apabila melihat sejarah Indonesia, dapat dilihat bahwa sesungguhnya Indonesia merupakan negara yang telah lama mengenal keberagaman seksualitas dan menghormatinya. 

Akan tetapi, seiring dengan perkembangannya, Indonesia seolah tidak lagi menghargainya. Ada sebuah hegemoni sistem patriarki dan adanya “peran aktor” yang memiliki kuasa untuk mengondisikan diskriminasi kelompok minoritas seksual.

“Indonesia sebagai negara demokrasi memiliki tanggung jawab untuk melindungi dan menjamin kebebasan hak asasi yang dimiliki oleh warganya, termasuk juga bagi kelompok minoritas seksual,” tulis Adam dan Shary di bagian kesimpulan artikel mereka. 

Rekomendasi