ERA.id - Di dalam pola asuh, orangtua perlu menyadari banyak aspek yang dapat mengganggu tumbuh kembang anak secara optimal. Salah satu hal yang perlu dipahami dan dihindari adalah pola komunikasi agresif.
Setidaknya hal itu pun dikatakan psikolog anak dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia Fabiola Priscilla, M Psi.
Fabiola menganjnurkan agar orangtua menghindari cara komunikasi baik yang agresif maupun pasif kepada anak.
"Misalnya ketika orang tua mengeluarkan kalimat "enggak usah pulang-pulang sekalian" kepada anak karena kesal melihat anaknya tidak kunjung pulang ke rumah setelah bermain di luar rumah. Itu merupakan contoh pola komunikasi yang agresif," kata Fabiola dalam seminar mengenai "kiat-kiat mengatasi stres pada orang tua dalam mempersiapkan anak kembali sekolah" seperti dikutip Antara.
Fabiola juga mencontohkan, pola komunikasi pasif yaitu saat orang tua mengomentari nilai ulangan anaknya hanya 70, disindir dengan kalimat "aduh anak tetangga bisa 80 nih, masa kamu tidak bisa dapat 85".
"Dua-duanya bisa menyakiti anak, makanya tidak dianjurkan. Kami menganjurkan penerapan pola komunikasi asertif, yaitu sampaikan apa yang diharapkan orang tua kepada anak, dan ajarkan juga cara melakukannya," kata Fabiola.
Supaya tumbuh kembang anak bisa berjalan lebih positif dan optimal, lebih baik gunakan pola komunikasi asertif.
Kata Fabiola, contoh pola komunikasi asertif yaitu saat orangtua mengatakan kepada anaknya,
"Mama harap kamu pulang jam empat sore, nak. Supaya kamu bisa mandi dulu sebelum kamu main, mama yakin kamu bisa melakukan itu kok."
Kalau mendengar kalimat tersebut, alam bawah sadar anak bisa lebih mudah mempersepsikan aturan yang dibuat oleh orang tuanya.
Sementara itu, Kepala Sekolah Dasar BPK Penabur Pondok Indah Evert F. Fanggidae mengatakan anak didik seharusnya difasilitasi ketika diminta oleh guru untuk melakukan sesuatu.
Evert sangat tidak setuju dengan guru yang memaksa (push) anak didiknya untuk berbuat sesuatu lebih baik.
Contoh, ada anak yang belajar secara lambat di kelas. Kalau guru memaksa anak tersebut belajar lebih cepat, maka suasana kelas bisa menjadi tidak efektif lagi bagi anak didik yang lain, termasuk pengajar pun bisa kurang efektif dalam mengajar.
"Sebaiknya anak (yang lambat belajarnya) diajak mengobrol dulu untuk melihat potensinya itu ada di mana, lalu fasilitasi semua yang dia suka (caranya)," kata Evert.