Melihat Fenomena Bowo Tik Tok dalam Psikologi Sosial

| 12 Jul 2018 05:33
Melihat Fenomena Bowo Tik Tok dalam Psikologi Sosial
Ilustrasi (Abid Farhan Jihandoyo/era.id)
Jakarta, era.id - Setelah sempat diblokir Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sejak 3 Juli 2018, aplikasi Tik Tok akhirnya bisa kembali diakses. Seenggaknya, kemarin (11/7) sore sekitar pukul 16.00 WIB, kami sudah bisa mengakses kembali aplikasi video pendek tersebut.

Tik Tok enggak menyia-nyiakan kesempatan ini. Mereka langsung berbenah, membersihkan berbagai konten negatif yang tersebar dalam platform mereka. Tik Tok juga mengembangkan sistem keamanan dan kecerdasan buatan untuk menyaring berbagai konten negatif.

Selain itu, ByteDance, induk perusahaan Tik Tok di Cina pun langsung menyatakan komitmen untuk mendirikan perusahaan perwakilan di Indonesia. Menurut proyeksi ByteDance, dalam dua tahun Tik Tok akan merangkul 10 juta pengguna dan menyerap seenggaknya 200 tenaga kerja di perusahaan mereka.

Di balik berbagai kontroversi soal Tik Tok, perihal serapan tenaga kerja itu jelas kabar baik. Lagipula, saya sih percaya, Tik Tok bisa jadi bermanfaat juga. Di tangan orang-orang yang berotak, barangkali Tik Tok bisa jadi sarana berkreasi juga. Atau jika produk yang dihasilkan lewat Tik Tok enggak memenuhi kriteriamu soal kreativitas, anggaplah Tik Tok sebagai sarana bersenang-senang.

Atau, lihat tuh Bowo Alpenliebe yang konon dinamai Alpenliebe karena parasnya yang hitam manis. Lewat Tik Tok, Bowo mampu menyita begitu luas perhatian publik. Bahkan, meet and greet Bowo mampu menyedot banyak penggemarnya ikut serta. Dan gilanya, dalam meet and greet itu, ada tarif khusus sebesar Rp80 ribu buat setiap penggemar yang ingin bersalaman dan berfoto bareng Bowo.

Gila memang. Enggak masuk akal juga iya. Dan siapa Bowo, bingung juga saya jabarinnya. Tapi, begitu deh kenyataannya. Dan sesuai sumpah saya sebelum menulis artikel ini, saya enggak akan ikutan nyinyirin perkara tersebut. Lagipula, barangkali boleh juga melihat sisi positif dari fenomena Tik Tok dan Bowo ini, bahwa bocah 13 tahun ini enggak hanya berhasil iseng dan senang-senang lewat Tik Tok, tapi juga cari duit.

Infografis "Budaya Instan" (Wildan Alkahfi/era.id)

Tik Tok dan Bowo dalam psikologi sosial

Bowo hanya contoh dari orang-orang yang berhasil meroket lewat media sosial. Fenomena ini jelas sudah sejak lama terjadi. Dan Bowo, ia cuma pemicu yang membuat fenomena ini kembali menarik untuk disoroti.

Nah, untuk mendalaminya, kami mewawancarai pakar psikologi sosial dari Universitas Tarumanegara (Untar), Jakarta, Yohanes Budiarto. Kami mau tahu, apa sih sesungguhnya daya tarik media sosial. 

Bagi Rafi, subscriber yang dikonversi jadi uang mungkin daya tariknya. Namun, jauh di akar fenomena ini, ada hasrat sosial untuk menjadi populer di dalam hati setiap orang yang terlibat dalam sub industri media sosial ini.

Ya kalau melihat logika itu, jangan-jangan banyak juga dari kita para pengguna media sosial yang punya hasrat sama seperti Bowo: meroket lewat media sosial, yang sayangnya enggak seberuntung Bowo saja. Ya, coba saja. Siapa yang enggak suka gemerlap ketenaran? Mungkin ada, sedikit. Tapi, soal uang? Siapa coba yang enggak suka uang? 

Dan masuk akal memang. Youtuber misalnya. Jelas, subscriber sangat bergantung pada seberapa populer seorang Youtuber. Makin populer, makin banyak jumlah subscriber-nya. Nah, makin banyak jumlah subscriber, maka akan makin besar potensi uang yang didapat.

Menurut pandangan psikologi sosial, budaya instan turut memengaruhi cara masyarakat mengakses media sosial. Dalam konteks psikososial, hal ini berhubungan dengan self-disclosure. Jika ditinjau lebih dalam menggunakan kacamata cyberpsychology, perkembangan media sosial telah mendorong setiap orang untuk terus menampilkan diri mereka lebih terbuka dari sebelumnya.

"Pertama, dalam kasus atau fenomena ini, nampak bahwa individu dalam konteks interconnected melalui media sosial lebih rentan mengalami fenomena psikologis spotlight effect," kata Yohanes kepada era.id, Senin (19/3/2018)

Segala kemudahan yang ditawarkan media sosial untuk mencapai popularitas disambut masyarakat yang telah terbentuk oleh budaya instan. Hasilnya, ya itu tadi, kecenderungan perilaku seseorang untuk menampilkan diri mereka.

Jalan instan menuju populer

Jalan instan menuju popularitas yang ditawarkan media sosial sejatinya membawa banyak manfaat bagi industri kreatif Indonesia. Lihat saja Rich Brian, yang namanya mencuat usai menelurkan klip video dari single-nya, Dat $tick. Performa Brian --yang saat itu masih mengusung nama panggung Rich Chigga (China Nigga)-- banyak menuai pujian dari pelaku industri hiburan di luar negeri.

Terakhir, Brian menelurkan album penuh pertamanya, "Amen". Album yang berisi 14 lagu ini berisi nomor penting, yakni Amen, Cold, Occupied, Introvert, Attention, Tresspass, Flight, Enemies, Kitty, Little Prince dan Arizona serta tiga lagu lama, di antaranya Glow Like Dat, Chaos dan See Me yang telah lebih dulu dirilis sebagai single.

Tak cuma itu. Lebih kerennya lagi, lewat Amen, Brian berhasil mencatatkan sejarah dengan menjadi penyanyi hip-hop Asia pertama yang memuncaki daftar album iTunes kategori hip-hop/rap.

Kesuksesan Brian adalah contoh nyata bagaimana kemudahan yang ditawarkan media sosial mampu mendorong pengembangan industri kreatif nasional. Sarananya sudah ada, nih. Begitu juga dengan kesempatannya.

Nah, sekarang tinggal bagaimana bersama-sama membangun industri kreatif. Pemerintah, jangan lupa ikutan, ya!

Rekomendasi