Setahun Kepergian Chester Bennington, Bagaimana Nasib Linkin Park?

| 20 Jul 2018 13:38
Setahun Kepergian Chester Bennington, Bagaimana Nasib Linkin Park?
Chester Bennington (Twitter @LPAssociation)
Jakarta, era.id - Tepat hari ini setahun yang lalu, frontman sekaligus songwriter band modern rock Linkin Park, Chester Bennington mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri. Kematiannnya terjadi di hari ulang tahun idola sekaligus sahabatnya, Chris Cornell (Soundgarden, Audioslaves) yang juga meninggal dunia akibat bunuh diri dua bulan sebelumnya.

Selama itu pula lah nasib band Linkin Park berada dalam ketidakjelasan. Sempat muncul ide merekrut vokalis Slipknot dan Stone Sour, Corey Taylor sebagai vokalis additional untuk melanjutkan tur album One More Light. Tapi itu pun hanya sebatas wacana. Pasalnya, mengganti vokalis ikonik sebuah band bukan hal yang gampang.

Sebagus dan sehebat apapun seorang Corey, belum tentu cocok dengan karakter Linkin Park. Belum lagi ketidaksetujuan para fans yang belum bisa move on dari Chester. Blind Melon, Nirvana, dan Mother Love Bone saja memutuskan bubar setelah kematian vokalis-vokalis mereka. Sementara Queen, Alice In Chains, dan INXS meski tetap melaju dengan vokalis baru, tak pernah sama lagi dengan mereka yang dulu. 

Mengganti posisi vokalis dalam sebuah band adalah perjudian besar. Apalagi jika vokalis tersebut merupakan konseptor, penulis lagu atau penggores cetak biru bagi band. Salah pilih orang, bisa fatal jadinya. Tapi, mengakhiri denyut nadi band yang ditinggal vokalisnya juga seperti menebas leher para penggemar. Serba salah, kan? Beda kasus jika pergantian itu terjadi akibat si vokalis keluar atau dipecat. Bukan karena meninggal dunia.

Ambil contoh Faith No More, Pink Floyd, Helloween, Dream Theater dan Pantera  yang mengganti vokalis orisinal mereka karena alasan teknis. Dan mereka tidak salah pilih. Band pun terus melaju hingga mencapai puncak kejayaan. Mike Patton, David Gilmore, Andi Derris, James LaBrie dan Phil Anselmo sukses membuat para fans ‘melupakan’ sosok Chuck Mosley, Syd Barrett, Michael Kiske, Charlie Dominici, dan Terry Glaze.

Ada juga Judas Priest, yang mau tidak mau harus merekrut vokalis baru pasca-kepergian Rob Halford. Terpilihnya Tim “Ripper” Owens sebagai pengganti Rob dan ikut menggawangi album Jugulator (1996) dan Demolition  (1997) sebenarnya sudah melalui pertimbangan yang dalam. Tapi, vokal signature Rob yang sudah tertancap di gendang telinga dan hati para fans membuat nama Tim Owens seperti angin lalu. Beruntung, Rob reuni dengan Judas Priest pada 2003 dan bertahan hingga sekarang.

Beda lagi kasusnya dengan Genesis yang  merekrut Ray Wilson di album Calling All The Station (1997) sebagai pengganti Phil Collins yang memutuskan hengkang lantaran ingin mengubah arah musikalnya. Meski sempat melakukan reuni panggung pada 2007, empat tahun berselang Phil benar-benar memutuskan mengundurkan diri dari industri musik karena masalah kesehatan dan komitmen terhadap keluarganya. Alhasil, Calling All The Station pun menjadi album terakhir Genesis.

Deep Purple dan Iron Maiden punya kasus berbeda dengan band-band di atas tapi kedua band ini justru memiliki kesamaan satu sama lain. Mereka memecat vokalis orisinalnya, sempat mengganti vokalis keduanya (Deep Purple bahkan sampai vokalis ketiganya), dan kembali merekrut vokalis kedua hingga mencapai kesuksesan. Ya, Ian Gillian dan Bruce Dickinson sukses menggantikan vokalis sebelumnya; Rod Evans dan Paul Di’Anno meski kemudian digantikan lagi oleh vokalis berikutnya; David Coverdale dan Joe Lynn Turner (Deep Purple) dan Blaze Bayley (Iron Maiden). Khusus Coverdale dan Lynn Turner sejujurnya tidak bisa dibilang gagal. Tapi Bayley, seakan menghilangkan nilai-nilai substansial dari Iron Maiden.

Black Sabbath dan Rainbow punya cerita lain. Setiap vokalis yang pernah menggawangi band ini; Ozzy Osbourne, Ronny James Dio dan Tony Martin punya daya tarik khusus di mata fans tanpa harus mengebiri karakter asli musik Black Sabbath. Beda halnya dengan Ian Gillian (Born Again, 1983) dan Glenn Hughes (Seventh Stars, 1986), yang bergabung dengan Black Sabbath hanya karena band memiliki hutang album kepada label yang menaunginya.

Pun dengan Graham Bonnet, Joe Lyn Turner dan Doogie White yang menggantikan Ronnie James Dio di Rainbow. Ketiganya memiliki kelebihan yang mampu menyatu dalam palung jiwa Rainbow yang berdiri gagah di atas fondasi sayatan gitar virtuoso Ritchie Blackmore. Hal ini tentunya berlaku juga untuk Ronnie Romero yang didapuk sebagai vokal Rainbow versi baru sejak 2015.

Tapi, ada juga band yang divonis gagal oleh sebagian penggemar dan kritisi musik lantaran memilih vokalis yang dianggap malah mengikis karakteristik asli si band. Loudness dan Motley Crue misalnya. Sampai-sampai band berusaha merekrut vokalis orisinal mereka hingga benar-benar mendapatkannya. Padahal, Mike Vescera (Loudness) dan  John Corrabi (Motley Crue) tidak kalah mentereng dibandingkan Minoru Nihara dan Vince Neil, lho!

Tapi Linkin Park tentu saja kasus yang berbeda. Pilihan terbaik bagi Mike Shinoda dkk mungkin mengganti nama band sekaligus mengubah konsep musik mereka. Dengan cara ini, siapa pun vokalis barunya tidak akan terlalu berat menanggung beban tatkala dibanding-bandingkan dengan Chester. Toh, nama bandnya saja sudah beda. Ambil contoh, tiga personel Rage Against The Machine yang membentuk Audioslaves bareng Chris Cornell, tiga anggota Guns N' Roses yang membentuk Velvet Revolver bersama Scott Weiland, atau tiga awak Creed yang mengibarkan bendera Alter Bridge dengan Myles Kennedy. Mereka tetap menggelinding tanpa takut dikritik fans lamanya. Meski lagi-lagi alasan terbentuknya ketiga band ini bukan karena kematian vokalisnya.

Serba salah, tapi patut dicoba oleh para personel Linkin Park tersisa. 

Baca Juga : Meregang Nyawa, Mendongkrak Karya

Rekomendasi