Beberapa waktu lalu, kami sempat menengok langsung dapur produksi FTV azab-azaban. Dan betul saja, begitu banyak lelucon yang kami tangkap. Coba saja, apa yang lebih konyol dari seorang aktor yang lupa nama karakternya sendiri? Atau aktris yang bahkan enggak menjawab yakin ketika kami bertanya soal judul produksi FTV yang lagi ia mainkan.
Abio Abie, aktor senior yang kami temui di lokasi syuting FTV berjudul Azab Tengkulak Kelapa Mati Tertimpa Ribuan Kelapa di Cipanas, Jawa Barat mengatakan, proses syuting tayangan semacam ini memang dilakukan dengan kilat. Boro-boro mendalami peran, wong Abio Abie saja mengaku sering mendapat skenario hanya beberapa saat sebelum pengambilan gambar dilakukan.
"Skenarionya turun, (tapi) enggak penuh, gitu lho. Separuh, separuh, separuh. Kalau dulu kan skenario itu turun (misalnya) satu sampai 60 (episode) sudah ada. Jadi, sudah tahu jalan ceritanya. Kalau sekarang enggak. Kadang-kadang saat kita sudah di lapangan, skenario baru turun separuh, bahkan kadang belum turun," tutur Abio Abie.
Rasanya, proses reading memang enggak perlu-perlu amat. Toh, berdasar pengamatan kami di lapangan, saat pengambilan gambar dilakukan, sejumlah kru produksi akan standby, siap berteriak, memandu dialog para aktor dan aktris, jaga-jaga andai para aktor dan aktris lupa atau memang enggak membaca skenarionya sama sekali. Nantinya, para aktris tinggal berdialog mengikuti panduan.
Hal menarik lain kami dapati dari wawancara bersama Larasati Kusnandar, aktris pendatang baru pemeran Fitri. Fitri adalah peran utama dalam judul ini, judul yang ketika kami tanyakan, ia jawab dengan penuh ketidakyakinan. "Kalau enggak salah, (judul FTV) tengkulak kelapa yang tewas tertimpa ribuan kelapa. Pokoknya gitu, deh. Panjang judulnya, satu alinea," tuturnya sembari tertawa.
Barangkali, enggak sepenuhnya salah Larasati juga. Sebab, judul tayangan FTV azab-azaban memang kerap dibuat dengan formulasi yang menyebalkan: panjang dan senada alias monoton, atau sebutlah membosankan. Sang sutradara, Jogi Dayal bilang, konsep penjudulan semacam itu memang disengaja. Selain lebih menarik, Jogi atau pihak rumah produksi tempatnya bernaung serta stasiun televisi sadar betul, khalayak mereka adalah masyarakat dengan tingkat intelektual yang enggak tinggi-tinggi amat. Makanya, Jogi bilang, pihaknya harus bisa menjelaskan seluruh cerita lewat judul.
"Itu cuma buat menangkap penonton supaya mereka menarik. Dari judul saja mereka bisa tahu, mungkin tentang itu. Tapi, tentang itu, apa yang terjadi, kita bikin penasaran supaya mereka menonton. Jadi, dari judul saja mereka langsung tahu, dan penasaran. Kalau bikin panjang kan sudah jelas. Kalau judul pendek, enggak jelas, ceritanya tentang apa. Jadi, memang kita cuma kasih ide saja, ceritanya tentang ini, tapi apa yang terjadi, itu harus nonton," tutur Jogi.
Jogi Dayal (FOTO: Iqbal/era.id)
Cerita yang.. Ah, sudahlah!
Dengan penggarapan cerita yang seadanya, judul panjang bin deskriptif memang bisa jadi solusi. Sebab, skenario macam apa yang bisa diciptakan sebuah tim penulis skenario keroyokan beranggota tiga sampai empat orang dalam waktu tiga hari? Ya, karya bagus macam kehidupan para durjana yang mati dalam keadaan terkutuk, tubuh bernanah, jasad ditolak bumi, kecebur di empang, atau yang lahadnya ditimpa meteor, mungkin.
"Kalau mulai dari ide cerita, bikin skenario, bikin skenario mungkin dua hari tiga hari. Melibatkan berapa, itu tergantung. Rata-rata melibatkan biasanya bisa tiga, bisa empat ... Jadi, pakem itu dari kantor. Jadi, di PH ada tim kreatif sendiri. Mereka biasanya kasih ide, kasih cerita dasar dulu, itu dari kreatif. Nanti dikembangkan sendiri oleh penulis. Jadi, tim kreatif itu sendiri memang di luar tim produksi, tim penulis.," kata Jogi.
Celakanya, sistem produksi semacam ini bertahan sangat lama, tanpa kemajuan, kecuali teknologi penunjang produksi. Namun, secara keseluruhan, proses produksi FTV bertema azab enggak pernah berubah. Soal perencanaan, proses eksekusi cerita, hingga pengembangan pemain, semua jalan di tempat.
"Kalau dari unsur produksi, kita enggak ada kemajuan. Ada kemajuan, mungkin alat-alatnya lebih canggih. Tapi, cara produksi tetap begitu, seperti sepuluh tahun lalu. Cara planning, eksekusi, sama perkembangan pemain. Pemain juga kadang-kadang, kita dapat pemain yang belum pernah sekolah akting, atau belum pernah teater. Jadi, harus diarahkan terus mereka. Secara produksi, planning, sama bikin schedule, ya menjalani syuting itu masih sama," tutur Jogi.
Intinya, di luar proses penulisan, Jogi dan timnya hanya diberikan waktu tiga hari untuk menyelesaikan proses syuting satu judul tayangan. Enggak ada hal lain yang bisa disalahkan, selain ketatnya jam tayang yang tentu saja pada akhirnya bermuara pada sistem share dan rating, yang jadi tolok ukur, seberapa banyak sebuah stasiun televisi bisa meraup untung dari tayangan yang ia produksi. Enggak salah memang, tapi masa iya terus-terusan menjual kacang ketika seluruh dunia sudah berebut emas di ladang ide dan inspirasi?!