Mengintip Dapur Produksi FTV 'Azab-azaban'
Mengintip Dapur Produksi FTV 'Azab-azaban'

Mengintip Dapur Produksi FTV 'Azab-azaban'

By Yudhistira Dwi Putra | 21 Oct 2018 14:08
Jakarta, era.id - Industri pertelevisian Indonesia belum juga berbenah. Usai fenomena sinetron beribu episode, opera sabun penjual mimpi, kini ekosistem pertelevisian disandera tayangan FTV bertema azab-azaban yang alih-alih menyampaikan pesan moral, nyatanya malah jadi lelucon.

Beberapa waktu lalu, kami sempat menengok langsung dapur produksi FTV azab-azaban. Dan betul saja, begitu banyak lelucon yang kami tangkap. Coba saja, apa yang lebih konyol dari seorang aktor yang lupa nama karakternya sendiri? Atau aktris yang bahkan enggak menjawab yakin ketika kami bertanya soal judul produksi FTV yang lagi ia mainkan.

Abio Abie, aktor senior yang kami temui di lokasi syuting FTV berjudul Azab Tengkulak Kelapa Mati Tertimpa Ribuan Kelapa di Cipanas, Jawa Barat mengatakan, proses syuting tayangan semacam ini memang dilakukan dengan kilat. Boro-boro mendalami peran, wong Abio Abie saja mengaku sering mendapat skenario hanya beberapa saat sebelum pengambilan gambar dilakukan.

"Skenarionya turun, (tapi) enggak penuh, gitu lho. Separuh, separuh, separuh. Kalau dulu kan skenario itu turun (misalnya) satu sampai 60 (episode) sudah ada. Jadi, sudah tahu jalan ceritanya. Kalau sekarang enggak. Kadang-kadang saat kita sudah di lapangan, skenario baru turun separuh, bahkan kadang belum turun," tutur Abio Abie.

Rasanya, proses reading memang enggak perlu-perlu amat. Toh, berdasar pengamatan kami di lapangan, saat pengambilan gambar dilakukan, sejumlah kru produksi akan standby, siap berteriak, memandu dialog para aktor dan aktris, jaga-jaga andai para aktor dan aktris lupa atau memang enggak membaca skenarionya sama sekali. Nantinya, para aktris tinggal berdialog mengikuti panduan.

Hal menarik lain kami dapati dari wawancara bersama Larasati Kusnandar, aktris pendatang baru pemeran Fitri. Fitri adalah peran utama dalam judul ini, judul yang ketika kami tanyakan, ia jawab dengan penuh ketidakyakinan. "Kalau enggak salah, (judul FTV) tengkulak kelapa yang tewas tertimpa ribuan kelapa. Pokoknya gitu, deh. Panjang judulnya, satu alinea," tuturnya sembari tertawa.

Barangkali, enggak sepenuhnya salah Larasati juga. Sebab, judul tayangan FTV azab-azaban memang kerap dibuat dengan formulasi yang menyebalkan: panjang dan senada alias monoton, atau sebutlah membosankan. Sang sutradara, Jogi Dayal bilang, konsep penjudulan semacam itu memang disengaja. Selain lebih menarik, Jogi atau pihak rumah produksi tempatnya bernaung serta stasiun televisi sadar betul, khalayak mereka adalah masyarakat dengan tingkat intelektual yang enggak tinggi-tinggi amat. Makanya, Jogi bilang, pihaknya harus bisa menjelaskan seluruh cerita lewat judul.

"Itu cuma buat menangkap penonton supaya mereka menarik. Dari judul saja mereka bisa tahu, mungkin tentang itu. Tapi, tentang itu, apa yang terjadi, kita bikin penasaran supaya mereka menonton. Jadi, dari judul saja mereka langsung tahu, dan penasaran. Kalau bikin panjang kan sudah jelas. Kalau judul pendek, enggak jelas, ceritanya tentang apa. Jadi, memang kita cuma kasih ide saja, ceritanya tentang ini, tapi apa yang terjadi, itu harus nonton," tutur Jogi.

Jogi Dayal (FOTO: Iqbal/era.id)

Cerita yang.. Ah, sudahlah!

Dengan penggarapan cerita yang seadanya, judul panjang bin deskriptif memang bisa jadi solusi. Sebab, skenario macam apa yang bisa diciptakan sebuah tim penulis skenario keroyokan beranggota tiga sampai empat orang dalam waktu tiga hari? Ya, karya bagus macam kehidupan para durjana yang mati dalam keadaan terkutuk, tubuh bernanah, jasad ditolak bumi, kecebur di empang, atau yang lahadnya ditimpa meteor, mungkin.

"Kalau mulai dari ide cerita, bikin skenario, bikin skenario mungkin dua hari tiga hari. Melibatkan berapa, itu tergantung. Rata-rata melibatkan biasanya bisa tiga, bisa empat ... Jadi, pakem itu dari kantor. Jadi, di PH ada tim kreatif sendiri. Mereka biasanya kasih ide, kasih cerita dasar dulu, itu dari kreatif. Nanti dikembangkan sendiri oleh penulis. Jadi, tim kreatif itu sendiri memang di luar tim produksi, tim penulis.," kata Jogi.

Celakanya, sistem produksi semacam ini bertahan sangat lama, tanpa kemajuan, kecuali teknologi penunjang produksi. Namun, secara keseluruhan, proses produksi FTV bertema azab enggak pernah berubah. Soal perencanaan, proses eksekusi cerita, hingga pengembangan pemain, semua jalan di tempat.

"Kalau dari unsur produksi, kita enggak ada kemajuan. Ada kemajuan, mungkin alat-alatnya lebih canggih. Tapi, cara produksi tetap begitu, seperti sepuluh tahun lalu. Cara planning, eksekusi, sama perkembangan pemain. Pemain juga kadang-kadang, kita dapat pemain yang belum pernah sekolah akting, atau belum pernah teater. Jadi, harus diarahkan terus mereka. Secara produksi, planning, sama bikin schedule, ya menjalani syuting itu masih sama," tutur Jogi.

Intinya, di luar proses penulisan, Jogi dan timnya hanya diberikan waktu tiga hari untuk menyelesaikan proses syuting satu judul tayangan. Enggak ada hal lain yang bisa disalahkan, selain ketatnya jam tayang yang tentu saja pada akhirnya bermuara pada sistem share dan rating, yang jadi tolok ukur, seberapa banyak sebuah stasiun televisi bisa meraup untung dari tayangan yang ia produksi. Enggak salah memang, tapi masa iya terus-terusan menjual kacang ketika seluruh dunia sudah berebut emas di ladang ide dan inspirasi?!

 

 

 

 

 

View this post on Instagram

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Hukuman Dunia buat FTV Azab-azaban . Tayangan TV bernuansa religi yang mempertontonkan azab kematian kini muncul kembali. Cerita azab kini dibungkus dengan nuansa komedi. Bahkan tayangan TV tersebut menjadi bahan olok-olok warganet lantaran beberapa adegan yang dinilai melewati batas nalar manusia. Sejumlah warganet bersatu untuk mengadukan tayangan ini ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) karena menyajikan tayangan yang tidak logis dan tidak memiliki nilai edukasi. Selamat datang kembali di artikel berseri khas era.id, SULAM. Ini dia, "Eranya Azab-azaban". Artikel berseri ini bisa kamu ikuti dalam dua hari ke depan (20-21 Oktober 2018) lewat link di bio! #azab #kpi #indosiar #mnc #azabindosiar #azabkubur #ftv #ftvazab #sulam #eradotid #susurlebihdalam

A post shared by era.id (@eradotid) on

Dilema klasik

Memang, tayangan bertema azab ini adalah salah satu tayangan yang memiliki angka share dan rating yang tinggi. Dunia TV mencatat, rata-rata FTV bergenre religi dan azab selalu berada di posisi sepuluh besar share dan rating. Bulan ini saja, lima judul FTV Azab Indosiar tercatat memanen angka share dan rating yang sangat tinggi hingga masuk dalam sepuluh besar: Anak Durhaka Mati (posisi 6), Penjual Tanah Wakaf Masjid (posisi 6), Sang Lintah Darat Kejam (posisi 6), Pengelola Panti Asuhan Fiktif (posisi 7), Pengganda Uang Mati (posisi 6).

Dilematis, tentu dilematis. Tapi, dilema ini sejatinya amat klasik. Menjual hal-hal dan pandangan negatif demi menarik lebih banyak mata atau sekadar tombol remot televisi, sebab enggak semua orang yang betul-betul menikmati, apalagi menghayati tayangan samacam ini.

Nining, seorang ibu yang juga mengajar di salah satu sekolah negeri di bilangan Tebet, Jakarta mengaku sebagai penonton tayangan ini. Hampir setiap sore, Nining menyaksikan FTV Azab yang ditayangkan di Indosiar. Meski telah mengikuti berbagai judul FTV ini, Nining enggak merasa hidupnya terpengaruh oleh tayangan ini. Lalu, apa alasan Nining memelototi televisi? Entahlah, sebab ia pun hanya menjawab "enggak tahu," seraya tertawa dan mengakhiri obrolan singkat dengan kami.

Kuntoro, seorang karyawan swasta mengungkap pandangan lebih menampar soal tayangan FTV bertema azab-azaban ini. Dia bilang, FTV azab-azaban yang tayang di televisi saat ini jauh dari penanaman nilai moral dan enggak lebih dari lelucon belaka. Ya, beralasan memang. Lihat saja meme dan parodi yang berseliweran di media sosial, betapa kocaknya judul-judul dan adegan-adegan FTV sejenis ini.

"Kalau penanaman nilai moral, mengapa saya enggak terpegaruh sama sekali? Lagupula, respons netizen (memparodikan) judul-judul FTV bertema azab-azaban ini sangat jelas," kata Kuntoro.

Terkait pesan moral ini, Ustaz Syahroni Mardani, pengajar di Masjid Al Ittihad menyampaikan pandangan menarik yang bisa jadi pegangan penting dalam merespons fenomena kemunculan tayangan-tayangan FTV bertema Azab. Kata Pak Ustaz, Islam adalah agama yang menjunjung nilai-nilai kebaikan, termasuk dalam menyampaikan sebuah pesan.

Saat kami sambangi, pertanyaan Ustaz Syahroni cuma satu, kenapa ya tayangan ini enggak membalik logikanya? Kenapa harus menjual azab sebagai judul. Padahal, ketimbang mengangkat cerita soal derita mayat-mayat yang telah mati, bukankah lebih baik jika mengangkat cerita soal keberkahan dan kebaikan? Ketika kami paparkan sejumlah judul FTV azab-azaban, Ustaz Syahroni secara spontan mengubah judul-judul yang kami paparkan.

"Azab Mandor Bangunan Kejam Mati Terkubur Cor-coran dan Tertimpa Meteor, ia ganti menjadi "Berkah Bagi Mandor Baik Hati, Meninggal dalam Keadaan Jenazah yang Harum".

 Atau judul lain: "Azab Istri Durhaka Mati Ditolak Bumi" yang ia ganti menjadi "Berkah Istri Saleha Meninggal dalam Senyum".

Pesan yang disampaikan Ustaz Syahroni jelas, Islam adalah agama yang mengedepankan kebaikan. Meski enggak menyebut tayangan itu wajib dilarang, Ustaz Syahroni bilang kepada kami, Islam sejatinya melarang ekspos terhadap aib-aib orang yang sudah meninggal, sekalipun aib yang diangkat adalah fiksi belaka.

"Artinya, aib itu memang enggak boleh diceritakan, harus dirahasiakan ... Yang benar (kejadian nyata) saja harus dirahasiakan, apalagi yang dibuat-buat (fiktif)," tuturnya.

Tags : azab-azaban
Rekomendasi
Tutup