Menyetop Kebiasaan Isap Jari pada Bayi

| 21 Feb 2019 09:02
Menyetop Kebiasaan Isap Jari pada Bayi
Ilustrasi (Pixabay)
Bandung, era.id - Untuk mendapatkan kenyamanan di area mulutnya, sejak lahir bayi selalu mengisap susu ibunya secara alami. Itu dilakukan bayi, untuk memenuhi kebutuhan dasarnya yaitu makan.

Menurut psikolog anak yang merupakan Co-Founder Children Cafe Nuri Indira Dewi, tujuan makan melalui air susu ibu (ASI) sampai kenyang, bayi merasa aman dan nyaman serta terlindungi dalam pelukan. Atas dasar itu kata Nuri, bayi dapat saja mempersepsikan kegiatan mengisap adalah kenyamanan.

"Dalam teori psikoseksual yang dikemukakan oleh Sigmund Freud, usia 0-1,5 tahun termasuk dalam tahap oral. Dimana kesenangan dan kenyamanan bayi berpusat di area mulut," ujar Nuri di Bandung, Rabu (20/2/2019).

Teori itu kata Nuri, meyakini bahwa stimulasi oral dapat mengarah ke fiksasi oral di masa depan yaitu stimulasi yang kurang atau justru berlebih. Hal itu dapat menyebabkan seseorang tidak dapat maju ke tahap selanjutnya. 

Akibatnya tutur Nuri, muncul perilaku-perilaku pengganti seperti mengisap jempol atau menggigiti kuku. Perilaku-perilaku ini pada umumnya muncul di bawah kondisi stres atau cemas.

"Penjelasan teori itu, mungkin kita mengira mengisap jempol adalah akibat dari kurang atau berlebihnya stimulasi oral. Namun ada pendapat lain yang merujuk pada kenyataan bahwa banyak bayi yang sudah melakukannya sejak dalam kandungan," kata Nuri.

Setelah lahir, kebiasaan ini muncul kembali saat mereka sudah tidak mengisap botol atau puting susu ibunya. Nuri mengutip dari seorang psikolog yang juga penulis buku, Susan Heitler.

Menurut Susan Heitler yang menyebutkan melihat kebiasaan tersebut sebagai adiksi atau ketergantungan. Maka, penanganannya juga memerlukan pendekatan khusus.

Jika kebiasaan ini berhenti sebelum anak berusia 5 tahun, dimana gigi permanennya belum tumbuh, maka kondisi yang disebut malocclusion ini cenderung dapat diperbaiki dengan sendirinya.

"Menurut penelitian 40 persen anak masih mengisap jempol di usia 1 tahun, 20 persen di usia 5 tahun dan 5 persen di usia 10 tahun. Sebuah penelitian jangka panjang lain menunjukkan total 50 persen anak berhenti sendiri di usia 5 tahun, total 75 persen anak di usia 8 tahun dan total 90 persen di usia 10 tahun. Hingga dapat disimpulkan bahwa anak kita memerlukan bantuan bila ia masih menghisap jempol di usia 5 tahun ke atas."

Nuri menambahkan, apabila kebiasaan ini telah bersifat adiktif, maka anak akan merasa tidak nyaman saat dirinya tidak mengisap jempolnya. Itu dapat diamati dari penolakannya saat diminta berhenti saat menangis, marah dan menolak dengan keras terhadap sesuatu hal yang tidak disetujuinya.

Mengisap jempol pada anak bisa dilihat dari pola kebiasaannya. Terdapat anak yang menghisap jempol saat hendak tidur, saat merasa cemas, takut atau sedih, menonton televisi, dan ada pula yang menghisap jempol saat tidak melakukan apapun. 

"Dengan menemukan polanya, kita akan lebih mudah menemukan penyebabnya. Menghilangkan kebiasaan ini bisa dengan cara membuat tangannya sibuk dengan berbagai kegiatan."

Kegiatan itu dapat berupa ajakan bermain aktif, tidak sepeti saat mengajak mereka menonton yang termasuk kategori kegiatan pasif. Dapat juga dengan mengajak anak mengobrol juga mengalihkannya dari menghisap jempol, bonusnya adalah meningkatnya kemampuan verbal dan kedekatan dengan anak.

Segera ingatkan dan hentikan ketika kita melihat anak menghisap jempol. Gunakan kata yang singkat misalnya 'jempol' atau 'ups!'. 

"Berikan ekspresi netral dan hindari menunjukkan ekspresi marah atau kesal, apalagi sambil berteriak," tegas Nuri.

Tindakan mengingatkan anak agar tidak menghisap jempolnya dapat dilakukan secara bertahap. Terpenting terdapat peningkatan dari waktu ke waktu.

Kuncinya adalah konsistensi orang tua saat mendampingi, jangan lelah untuk mengingatkan anak dan hindari pembiaran meskipun hanya satu kali. Berikan kalimat-kalimat penguat dan minta anak untuk terus mengulangi. 

"Misalnya yang dimasukkan ke mulut hanya makanan, dan jempol bukan makanan. Atau jempol untuk diacungkan saat kita bilang sip. Bisa juga dengan kalimat aku sudah besar dan tidak mengisap jempol lagi. Dapat pula dicoba dilakukan di depan cermin untuk membantu menanamkan kalimat-kalimat itu ke dalam diri anak," lanjut Nuri.

Bila anak mengisap jempolnya setiap merasa cemas, takut atau sedih, oran tua dapat mengenalkan cara-cara lain untuk meredakan emosi negatifnya tersebut. Misalnya dengan menceritakan apa yang anak rasakan, menarik nafas panjang, menangis hingga dia merasa lega, mencari solusi dan sebagainya. Orang tua juga dapat memberikan pelukan, menjadi pendengar yang baik, mengalihkan ke hal lain yang menyenangkan dan seterusnya.

Tunjukkan bahwa orang tua mengerti apa yang anak rasakan. Namun orang tua harus percaya bahwa anak bisa menghentikan kebiasaan ini. 

"Memberikan reward atas upayanya juga tidak dilarang, selama reward itu menjadi bonus bukan tujuan utama. Bisa dalam bentuk apresiasi, ungkapan kebanggaan, atau benda dan kegiatan yang ia sukai," ungkap Nuri.

Orang tua disarankan dalam mengingatkan anak agar tidak mengisap jempol melakukan tidakan kekerasan, semisal memukul atau menyentil. Meski ampuh, tetapi cara itu bisa menimbulkan trauma pada anak. 

Selain untuk membantu mengurangi kebiasaan mengisap jempol, strategi serupa dapat pula dilakukan untuk kebiasaan menggigiti kuku (nail biting). Perbedaannya, jika mengisap jempol terjadi secara alami, maka menggigiti kuku muncul lebih karena kecemasan, melihat kuku kurang rapi atau meniru dari orang lain. 

"Karena itu kita dapat mengajarkan teknik-teknik relaksasi pada anak dan menjaga kuku anak tetap rapi dan bersih," kata Nuri. 

Rekomendasi