Jawaban Atas Kontroversi LGBT Kucumbu Tubuh Indahku

| 26 Apr 2019 13:42
Jawaban Atas Kontroversi LGBT <i>Kucumbu Tubuh Indahku</i>
Kucumbu Tubuh Indahku (IMDB)
Jakarta, era.id - Sutradara Garin Nugroho bereaksi terhadap munculnya petisi dan gerakan memboikot karya terbarunya, Kucumbu Tubuh Indahku. Bagi Garin, petisi dan gerakan yang disuarakan banyak netizen adalah penghakiman massal terhadap karya dan pikiran.

Lewat akun Instagram pribadinya, Garin menulis surat terbuka yang ia tujukan secara luas kepada masyarakat, dan secara spesifik kepada kelompok-kelompok yang menentang penayangan Kucumbu Tubuh Indahku di bioskop-bioskop lokal.

Bagi Garin, gerakan ini menunjukkan bagaimana media sosial telah menjadi arena peradilan tanpa keadilan yang berpotensi melahirkan anarkisme massal. Gejala ini, di mata Garin, akan mematikan daya pikir terbuka dan memeloroti kualitas kerja dan daya cipta terhadap sebuah karya.

"Bagi saya, kehendak atas keadilan dan kehendak untuk hidup bersama dalam keberagaman tanpa diskriminasi dan kekerasan tidak akan pernah mati dan dibungkam oleh apapun, baik senjata hingga anarkisme massal tanpa proses berkeadilan," tulis Garin dikutip Jumat (26/4/2019).

 

Kontroversi

Kontroversi ini bermula dari munculnya sebuah petisi di situs change.org yang digagas oleh seorang netizen bernama Rakhmi Mashita. Dalam uraiannya, Rakhmi menyebut Kucumbu Tubuh Indahku sebagai sebuah film yang mengkhawatirkan lantaran mengandung muatan LGBT di dalamnya.

"Sebuah film selain dibuat untuk menceritakan true story, seharusnya sebuah film bisa membawa efek positif bagi penontonnya, seperti menjadi inspirasi positif, kreatif, dan menambah wawasan yang bernilai positif juga. Jika film seperti ini diizinkan tayang dan disebarluaskan, kita mesti khawatir, bahwa generasi muda yang mengalami kesulitan menemukan jati diri akan mencontoh perilaku dalam film ini," tulis Rakhmi.

Hingga Jumat siang pukul 12.51 WIB, petisi ini sudah ditandatangani oleh 5.107 orang. Di kolom komentar, sejumlah netizen turut menyuarakan penolakan mereka.

Asih Tiara Restu, misalnya yang menulis: Saya menolak apapun yang mempresentasikan LGBT. Saya tidak memusuhi oknumnya, tapi perilaku menyimpang dan turunannya tidaklah dibenarkan untuk dipertontonkan.

Netizen lain, Reza Hakim menuliskan alasannya menandatangani petisi ini. "Saya menolak perilaku LGBT dan kegiatan-kegiatannya, termasuk segala bentuk publikasi perilaku ini."

Sekilas tentang Kucumbu Tubuh Indahku

Film yang tayang sejak 18 April 2019 ini berfokus pada kisah Juno (Rianto) yang hidup di sebuah desa, di mana sebagian besar masyarakatnya hidup sebagai penari lengger lanang. Lengger lanang adalah tarian tradisional dari Banyumas, Jawa Tengah yang dimainkan oleh para pria dengan pakaian khas perempuan jawa.

Tubuh para penari lengger biasanya dibalut dengan kemben yang terbuat dari kain batik dan stagen di bagian pinggang, plus sampur, sebuah selendang yang dipakai para penari untuk berlenggak-lenggok.

Dalam tariannya, sampur biasa digunakan para penari lengger untuk menarik salah seorang penonton. Siapapun penonton yang mendapat kalungan sampur, ia berkesempatan untuk menari bersama sang penari lengger, bergabung dalam tarian yang didominasi gerak pinggul.

Kembali ke Kucumbu Tubuh Indahku. Dalam film yang dimasak Fourcolours Films ini, Garin menyoroti perkembangan diri Juno, mulai dari Juno kecil hingga peleburan tubuh maskulin dan feminin Juno yang turut mendalami tarian lengger lanang di usia dewasanya.

Bukan hanya interaksi dengan tarian lengger lanang. Kehidupan Juno juga dipenuhi oleh trauma. Juno menyaksikan begitu banyak kekerasan di sepanjang hidupnya, kekerasan yang memaksanya berpindah tinggal dari satu desa ke desa lain.

Dalam lompatan-lompatan itu, Juno menemui begitu banyak manusia dengan karakteristik dan latar belakang berbeda. Dan segala sentuhan serta interaksi Juno dengan dunia sekitar membawa Juno menemukan keindahan tubuhnya.

Sebelum pulang ke rumah, Kucumbu Tubuh Indahku sebelumnya telah berkeliling di layar-layar festival internasional dan memenangi berbagai penghargaan, seperti UNESCO Award 2018 dan Guadalajara International Film Festival 2019.

Rekomendasi