Apalagi spyware yang kabarnya dibuat oleh perusahaan NSO Group asal Israel itu, terkenal sudah malang melintang di dunia keamanan cyber.
Saat sudah menginfeksi smartphone via akun WhatsApp, spyware ini bisa menyalakan kamera, mikrofon ponsel, memindai email dan pesan yang tersimpan di dalamnya. Bahkan spyware ini bisa memantau pergerakan si penggunanya hanya lewat GPS ponsel.
Rasa khawatir jelas ada, apalagi kalau sampai data pribadi yang tersimpan dalam ponsel bakal disalahgunakan. Seakan prediksi Edward Snowden soal tak adanya lagi privasi, jadi problem di dunia digital saat ini.
Kalau ditanya aplikasi pesan apa yang ada di smartphone kalian, bisa jadi jawaban pertamanya adalah WhatsApp. Meski banyak aplikasi messaging lainnya seperti Line atau Telegram, yang paling populer dan sering digunakan cuma WhatsApp.
Kemudahan menggunakan aplikasi WhatsApp jadi nilai jual layanan pesan instan ini begitu populer. Fitur-fitur kemanan berlapis pun tertanam di aplikasi messaging ini.
Tak seperti Telegram, WhatsApp bukan open source, jadi tidak ada cara bagi peneliti keamanan pihak ketiga untuk memeriksa apakah ada pintu belakang (backdoors) dalam kodenya. Apalagi sistem enkripsi end-to-end yang hanya bisa diakses oleh WhatsApp, rasanya membuat orang awam jadi terasa aman menggunakannya.
Mengulik kolomnis IT, Pavel Durov di Telegraph, rasanya cukup masuk akal bila WhatsApp jadi sangat populer ketimbang aplikasi messaging lainnya. WhatsApp memiliki sejarah keamanan yang konsisten selama 10 tahun perjalanannya.
Apalagi versi pembaruan terus digulirkan WhatsApp, agar bisa menjaga privasi penggunanya. Terlebih setelah didera serangan spyware, baru-baru ini. "Mereka tampaknya tidak siap, jika harus kehilangan seluruh pasar penggunanya," kutip era.id, Kamis (16/5/2019).
WhatsApp yang kini di bawah naungan Facebook, juga sudah ditinggalkan oleh penciptanya Jan Koum. Kepergian Koum juga disusul Brian Acton, keduanya memilih mundur setelah bersitegang dengan CEO Facebook Mark Zuckerberg terkait kebijakan privasi di layanan pesan obrolan itu.
Hal yang justru menakutkan dari celah keamanan WhatsApp yang disusupi spyware atau aplikasi mata-mata ini adalah privasi data penggunanya. Siapapun peretas yang memanfaatkan celah keamanan ini bisa dengan mudahnya memanfaatkan Pesan-pesan yang sudah disandi, browser, email atau aplikasi SMS tanpa diketahui oleh penggunanya.
"Penemuan bahwa hacker bisa memata-matai WhatsApp harus membuat user waspada akan aplikasi yang dirancang aman tapi kenyataannya kurang nyaman. Enskripsi end to end kedengarannya bagus, tapi jika orang bisa masuk ke sistem operasi ponsel Anda, mereka bisa melihat pesan tanpa harus memecahkan sandi," tulis Leonid Bershidsky, kolumnis teknologi di Bloomberg.
Tidak mudah memang untuk menangkal aksi peretasan di era digital saat ini. Sistem keamanan enskripsi end-to-end di WhatsApp yang digadang-gadang berguna untuk mengamankan pesan hanya bisa dibaca pengirim dan penerimanya saja tak 100 persen aman.
Bahkan menurut dia, satu-satunya cara komunikasi yang aman adalah dengan cara kembali ke masa silam. "Komunikasi yang benar-benar aman sungguh hanya mungkin di dunia analog," pungkas Leonid.
Jadi, memang lebih enak bertemu dibanding sekadar 'bercakap' melalui layar kan?