Ulasan Ghost Writer-Cerita Potensial yang Digarap Sekadar

| 29 May 2019 14:04
Ulasan <i>Ghost Writer</i>-Cerita Potensial yang Digarap Sekadar
Ghost Writer (Instagram/@ghost.writer.movie)
Jakarta, era.id - Ghost Writer berkembang sebagai sebuah drama menarik. Bene Dion bermain cukup cantik dalam debutnya sebagai sutradara. Bene berhasil memformulasikan paduan unsur komedi dan horor dalam kadar yang pas. Kelihaian Bene mengembangkan cerita jelas adalah keistimewaan. Selebihnya, Ghost Writer hanya sebuah film yang digarap seadanya. Sayang.

Kisah Ghost Writer berpusat pada sosok arwah penasaran bernama Galih (Ge Pamungkas). Semasa hidup, Galih terlibat konflik dengan ibunya (Dayu Wijanto). Kematian sang adik, Bening (Asmara Abigail) membuat konflik antara Galih dan sang ibu makin kacau. Galih terjebak dalam depresi, larut dalam tulisan-tulisan pahit di buku harian, hingga mengakhiri hidupnya dengan gantung diri.

Tatjana Saphira (Naya) adalah penulis novel best seller yang tengah berkutat dengan kutukan karya keduanya. Di tengah kondisi writer block, Naya bersama adiknya, Darto (Endy Arfian) pindah ke sebuah rumah. Di rumah itu, Naya menemukan buku harian Galih. Temuan itulah yang jadi awal interaksi Naya dengan arwah Galih juga Bening.

Galih dan Naya kemudian berteman. Keduanya memutuskan untuk menuangkan kisah hidup Galih ke dalam novel Naya. Tujuannya, untuk meluruskan berbagai anggapan keliru sang ibu tentang Galih. Jika interaksi Naya dan Galih berjalan damai, Bening justru menunjukkan sikap berbeda. Ia terus mengganggu Naya dan Galih, memaksa Naya untuk membatalkan publikasi novelnya.

 

Garapan

Seperti dituturkan di awal, Ghost Writer adalah film dengan cerita potensial, yang sayangnya terasa digarap alakadar saja. Bene nampaknya juga harus mulai berpikir bagaimana cerita potensialnya dapat disampaikan dengan lebih lugas.

Beberapa adegan terasa berlangsung dalam kecepatan yang kelewat lamban. Bahkan, beberapa di antaranya justru terasa menggagalkan tensi horor yang harusnya bisa ditangkap lebih baik oleh penonton. Mengurangi 'basa-basi' rasanya akan baik bagi Bene.

Jika tensi horor terasa banyak digagalkan oleh kecepatan, maka unsur komedi adalah penyedap sekaligus penyelamat film ini. Bayangkan, apa yang lebih brengsek dari hantu yang menyampaikan ancaman lewat sebuah pantun?

Sorotan lain yang terasa begitu mengganggu adalah kualitas tata suara. Sejak film dimulai, penonton akan merasakan begitu banyak gangguan di kuping mereka, terutama untuk mencerna dialog para pemain yang beberapa kali terasa dituturkan dengan artikulasi belepetan. Sebagai film yang mengusung komedi non-slapstick, jelas adalah kerugian besar ketika penyampaian lelucon justru terganggu oleh hal teknis yang seharusnya dapat diantisipasi.

Meski begitu, kuping kita rasanya terselamatkan oleh peran sang Music Director, Bembi Gusti. Tak banyak ruang bagi Bembi mengeksplorasi sonic space-nya. Namun, ia berhasil memanfaatkan dengan baik ruang yang ia miliki. Dalam salah satu adegan pamungkas pertemuan antara arwah Galih dan Bening dengan kedua orang tua mereka. Dominasi string yang dimainkan Bembi di dalam layar terasa begitu memancing emosi, memaksa penonton memuntahkan air mata.

Cerita potensial

Departemen penulisan jadi sudut yang paling pantas atas apresiasi tertinggi. Bene bersama Nonny Boenawan berhasil mengembangkan kisah Ghost Writer dengan sangat baik. Bene menjadikan Naya sebagai pengantar kisah Galih, Bening, serta hubungan kakak-beradik hantu itu dengan kedua orang tua mereka. Novel Naya jadi benang merahnya. Balutan komedi, nuansa horor, dan sisipan drama jadi bumbu yang diracik pas oleh Bene.

Nampaknya, ada kedisiplinan tingkat tinggi yang diterapkan Bene dalam penulisan Ghost Writer. Terbukti, bagaimana ketiga unsur di atas mendapatkan porsi yang serba pas. Bene memang sudah nawaitu, setiap adegan komedi dalam film ini akan jadi tawa sejati. Sedang setiap horor akan ditampilkan dengan penuh ketakutan. Begitu juga dengan balutan drama yang lumayan menghidupkan emosi.

Di sebuah wawancara bersama Kompas, Bene menjanjikan formulasi menyegarkan dalam Ghost Writer. Dengan tegas, Bene menyebut komedi-horor sebagai genre film ini, genre yang menurutnya jarang disentuh sineas lokal saat ini. "Kami ingin horor komedi, ingin berbeda dari horor yang lain. Tapi kami pisahkan, saat adegan horor ya horor, komedi ya komedi," kata dia, dikutip Rabu (29/5/2019).

Selain perkembangan cerita, Bene juga berhasil menyusun logika-logika yang ciamik di dalam film. Soal buku harian yang jadi cara Naya melihat Galih, misalnya, yang kemudian juga menjelaskan bagaimana Naya akhirnya dapat melihat sosok Bening di penghujung film.

Latar belakang yang menggerakkan konflik dalam film juga berhasil dijelaskan dengan baik oleh Bene. Alasan ekonomi yang membuat Naya terpaksa mengadaptasi cerita Galih dalam buku hariannya sebagai novel, alasan Galih mengizinkan Naya mengangkat kisahnya ke dalam novel, atau alasan Bening berupaya menghentikan publikasi novel tersebut. 

[SPOILER ALERT!]

Selain perkembangan cerita dan formulasi serba pas, unsur kejutan juga jadi percobaan baik yang dilakukan Bene maupun Nonny. Keduanya berhasil mengantarkan penonton pada twist-twist yang dimunculkan dalam plot dengan cukup baik. Mulai dari sosok Slamet Rahardjo yang dimunculkan di bagian paling awal film, yang ternyata adalah ayah Galih.

Atau bagaimana Bene melempar banyak tayangan flashback yang menampilkan sosok Dayu sebagai ibu kandung Galih, hingga ketika Bene menyisipkan satu adegan kunci ketika Naya mengantar sebuah surat kepada ibu Galih. Dengan cara itu, Bene mencoba memberitahu penonton, bahwa rumah yang ditempati Naya dan Darto adalah rumah yang sempat ditinggali oleh Galih dan keluarganya.

Bene nampaknya masih perlu mengeksplorasi lebih banyak cara untuk mengantarkan penonton pada kemungkinan-kemungkinan yang hadir dalam plot yang ia susun. Soal cara Bene mengungkap identitas kedua orang tua Galih, misalnya. Menjadikan tayangan flashback sebagai panduan terasa masih terlalu gamblang dan membosankan, mengingat cara itu dilakukan Bene untuk mengungkap identitas Slamet sebagai ayah juga Dayu sebagai ibu Galih.

Meski masih jauh dari kata keren, Ghost Writer tentu saja sebuah debut memukau dari seorang sutradara muda berusia 29 tahun. Kemampuan Bene mengembangkan cerita menunjukkan bakat di atas rata-rata. Tak sabar menunggu penyempurnaan karya Bene Dion selanjutnya!

Tags : resensi film
Rekomendasi