"Satu dosis akan cocok untuk semua”, kata Prof. Iman Permana Maksum, S.Si. pakar biokimia Universitas Padjadjaran (Unpad).
Padahal menurutnya,suatu obat tidak bisa bekerja dengan cara yang sama untuk semua orang.
"Mungkin sulit untuk memprediksi siapa yang akan mendapatkan manfaat dari pengobatan, siapa yang tidak merespons sama sekali, dan siapa yang akan mengalami efek samping," kata Iman Permana Maksum, saat pidato ilmiah pengukuhan guru besar bidang Ilmu Biokimia pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Unpad, Bandung itu, pekan lalu.
Iman yang orasi ilmiahnya membedah tema “Kajian Big Data Varian Genom Manusia Indonesia sebagai Upaya Penegakan Diagnosis Tingkat Molekul dan Rasionalisasi Pengobatan Penyakit” itu menjelaskan, reaksi efek samping obat bisa menimbulkan beragam efek bagi pasien, mulai harus rawat inap, dan bahkan kematian seperti yang pernah terjadi di Amerika Serikat.
Maka untuk meminimalisir efek samping sekaligus meningkatkan efektivitas pengobatan, menurutnya diperlukan pengobatan dengan pendekatan data genetik atau genom.
“Pengetauan yang diperoleh dari proyek genom manusia akan memfasilitasi para peneliti untuk mempelajari bagaimana perbedaan gen bawaan dalam mempengaruhi respons tubuh terhadap obat-obatan. Perbedaan genetik ini akan digunakan untuk memprediksi apakah suatu obat akan efektif untuk orang tertentu dan untuk membantu mencegah reaksi obat yang merugikan,” terang profesor berusia 49 tahun itu.
Untuk bisa melakukan pengobatan berbasis genom diperlukan data genetik setiap pasien yang disimpan dalam big data. Bagi kalangan peneliti, big data dimanfaatkan untuk menghasilkan pola atau bentuk yang dapat menjadi suatu pengetahuan baru. Pun bagi peneliti medis, konsep big data diperlukan untuk pengarsipan database genom yang menjadi sumber informasi kesehatan, forensik dan berkontribusi juga dalam bidang antropologi.
Kata Iman, Indonesia harus memiliki big data genom ini untuk mendukung sistem kesehatan yang lebih maju. Penyusunan database gen orang Indonesia bukan hal mustahil karena teknologi genomik saat ini memungkinkan bagi dokter maupun peneliti biomedis untuk mengumpulkan data genom dalam big data. Kemudian dilanjutkan dengan langkah integrasi banyak jenis data lainnya, termasuk data penelitian tentang penyakit, sehingga akan memungkinkan para peneliti untuk lebih memahami dasar genetik dari respons obat dan penyakit.
Pengumpulan database genom manusia, Iman melanjutkan, telah dimulai melalui sequencing DNA, salah satunya telah dipublikasikannya genom mitokondria manusia kaukasia pada 1981. Kemudian draft pertama genom DNA kromosom manusia dipublikasikan dalam jurnal Nature pada februari 2001. Saat ini, database yang telah dikembangkan untuk DNA mitokondria adalah Mitomap, sedangkan untuk DNA kromosom digunakan NCBI. Keduanya menyimpan banyak sekali informasi genetik yang dapat dimanfaatkan dan diakses oleh siapa saja dan kapan saja.
Pengobatan berbasis gen ini dipelajari dalam farmakogenomik, yaitu sebuah studi tentang bagaimana gen memengaruhi respons seseorang terhadap obat.
"Bidang ini relatif baru, menggabungkan farmakologi (ilmu obat) dan genomik (studi gen dan fungsinya) untuk mengembangkan obat dan dosis yang efektif yang akan disesuaikan dengan susunan genetik seseorang," ucapnya.