"Menurut saya ini fenomena menarik. Ini akan membuka banyak peluang dari international production untuk masuk ke Indonesia. Apalagi Indonesia menjadi tujuan pertama Fox setelah sebelumnya Filipina dan Vietnam juga menjadi bidikan mereka," kata Lala saat mengisi acara diskusi bertajuk Gairah Perfilman Indonesia yang diselenggarakan di Eat & Eat, Sudirman, Jakarta Pusat, Kamis (22/2) malam kemarin.
"Ketika kami masuk mereka tertarik, kami jelaskan data-data dan berapa besarnya mangsa dan juga Intellectual Property (IP) Wiro yang sangat kuat. Mereka akhirnya memutuskan untuk masuk ke Indonesia terlebih dahulu," lanjutnya.
Lala kemudian menceritakan proses perjalanan dirinya sampai akhirnya bisa bekerja sama dengan Fox. Kata Lala, proyek film Wiro Sableng sudah dimulai sejak tiga tahun lalu saat ia bertemu dengan salah satu temannya, Michael Werner.
"Waktu 2016, dia (Michael Werner) bilang, 20th Century Fox sedang mencari film lokal untuk tiga negara; Filipina, Vietnam dan Indonesia. Kemudian Michael bilang project tersebut masih ada, (mereka) bisa datang ke sini dan (kita tinggal) presentasi," tuturnya.
Menanggapi penawaran itu, Lala mempersiapkan presentasi dilengkapi dengan data-data industri film Indonesia. "Jadi bukan sekadar tentang Si Wiro, tapi juga data industri film Indonesia yang sangat besar," ucapnya.
Setelah melakukan presentasi materi dari Wiro Sableng, kata Lala, Fox tertarik mengingat IP film ini punya akar yang cukup solid. Dibuat selama 39 tahun (1967-2006), Wiro Sableng menghasilkan 185 judul.
"Saya bilang, visi yang akan kami kembangkan dalam project ini 'sangat Indonesia'. Inilah yang membuat mereka tertarik," tuturnya.
Lala lalu mengimbau, jika ingin melakukan co-production dengan pihak asing kita harus memiliki kesamaan level.
"Tidak bisa kita jadi minder dan ngikutin asing," tutupnya.