ERA.id - Ledakan bom bunuh diri yang berasal dari Toyota Kijang yang dikendarai Asmar Latin Sani masih melekat sebagai memori buruk dalam sejarah Indonesia. Bom bunuh diri yang meledak di Hotel JW Marriot, Jakarta pada 5 Agustus 2004 pada pukul 12.45 WIB dan 12.55 WIB tersebut menewaskan 12 orang dan 150 orang lainnya luka-luka.
Dalam mobil yang dikendarai Asmar, terdapat enam jeriken berisi bahan kimia mudah terbakar yaitu trinitrotoluena (TNT), Research and Development Explosive (RDX), dan High Melting Explosive (HMX). Lalu juga ada empat keriken berisi bensin dicampur minyak tanah.
Asmar membawa mobil berisi bahan kimia mudah terbakar tersebut ke sebuah restoran yang banyak dikunjungi wisatawan asing. Hotel ini juga berulang kali menjadi tempat berbagai acara yang diselenggarakan Kedutaan Besar AS.
Mengutip dari The Christian Science Monitor, Asmar datang saat jam makan siang. Saat ia meledakkan diri, restoran tersebut hancur dan kepalanya terpenggal hingga terpental dan ditemukan di lantai lima gedung JW Marriot.
Korban luka terdiri dari dua warga Amerika, dua warga Australia, empat warga Singapura, dan seorang warga Selandia Baru. Seorang eksekutif perbankan Belanda tewas.
Kapolda Metro Jaya saat itu Irjen Makbul Padmanegara dan Kapolri Da'i Bachtiar menyebut model pengeoman JW Marriot mirip dengan ledakan bom Bali pada 2002. Pengeboman mengakibatkan adanya lubang lebar. Lalu mobil Kijang telah menjadi rangka dengan radiator dan bagian setir terlempar.
Serangan tersebut ternyata terjadi dua hari sebelum pengadilan di Bali menjatuhkan putusan pertama dalam persidangan para tersangka pelaku bom Bali yang terjadi pada Oktober 2002. Selang 6 hari setelah kejadian, jaringan teroris al-Qaeda mengklaim bertanggungjawab atas bom bunuh diri itu.
Al-Qaeda menyebut Asmar sebagai salah satu dari 15 orang yang tergabung dalam regu bunuh diri. Sementara itu, dua anggota kelompok Jamaah Islamiyah yang dipenjara juga mengklaim mereka yang merekrut Asmar.
Mengutip Sydney Morning Herald, Clive Williams, pakar terorisme dari Australian National University, mengatakan al-Qaeda memiliki sejarah mengklaim bertanggung jawab atas pengeboman yang sebenarnya tidak dilakukan.
"Itu praktik standar untuk al-Qaeda, mereka biasanya akan mengklaim insiden internasional yang konsisten dengan apa yang ingin mereka capai," kata Williams. Williams juga mengatakan al-Qaeda juga mengaku bertanggung jawab atas pengeboman di Maroko dan pengeboman di Bali pada 2002.
“Saya tidak mengatakan bahwa al-Qaeda tidak terkait dengan Jamaah Islamiyah dan mereka kadang-kadang memberikan bantuan kepada kelompok-kelompok lokal dengan memberikan keahlian membuat bom, pelatihan dan hal semacam itu, dan juga sejumlah dana, tetapi biasanya ini adalah agenda yang dikembangkan sendiri," kata Williams.
Pada 2009, kembali terjadi pengeboman di JW Marriott dan Ritz Carlton. Pengeboman tersebut merupakan aksi bunuh diri dan menewaskan 9 orang dan melukai lebih dari 50 orang, baik warga Indonesia maupun warga asing. Selain bom tersebut, terdapat sebuah bom serupa yang tidak meledak di kamar 1808 Hotel JW Marriott yang ditempati selama dua hari oleh tamu hotel yang diduga sebagai pelaku pengeboman.