ERA.id - Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) Kota Tangerang mendapat 127 laporan terkait perselisihan buruh dengan perusahaannya. Jumlah itu merupakan perkara yang ditangani sejak Januari hingga September 2021.
Dari data yang diperoleh, didominasi laporan buruh karena mendapat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak. Sisanya karena tidak mendapat hak.
Total ada 455 buruh yang di PHK menurut laporan tersebut. Sementara, 54 buruh tak mendapat haknya.
Kepala Bidang Hubungan Industrial untuk Disnaker Kota Tangerang, M Adli mengatakan dari jumlah 127 aduan, 80 diantaranya berhasil diselesaikan. 45 perkara selesai setelah mendapat anjuran dari Disnaker.
Lalu, 26 perkara selesai setelah kedua belah pihak yakni buruh dan perusahaan melakukan Perjanjian Bersama (PB). Kemudian, 8 perkara selesai setelah perusahaan dan buruh melakukan Bipartit atau perundingan. Sisanya, berakhir di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Banten.
"Emang rata-rata selesai di Disnaker atau selesai secara internal di perusahaan," ujar Adli Senin (6/12/2021).
Dia mengatakan, Disnaker Kota Tangerang ketika mendapat laporan tersebut menganjurkan buruh dan perusahaan yang berselisih untuk menyelesaikan masalahnya. Mulai dari Bipartit hingga Perjanjian Bersama.
"Kami anjurkan itu sehingga masing-masing pihak ada jalan keluarnya," kata Adli.
Adli mengatakan Disnaker Kota Tangerang tidak bisa memberikan sanksi atau melakukan penyidikan terkait perselisihan buruh dan perusahaan. Hal itu kata dia merupakan wewenang dari PHI Banten.
"Ketika tidak bisa selesai di Disnaker. Biasanya buruh melaporkan ke PHI. Nanti PHI yang menindaklanjuti. PHI yang punya wewenang untuk memberikan sanksi. Kota hanya menganjurkan," jelasnya.
Wakil Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Kota Tangerang Hardiansyah mengatakan peran Disnaker dalam penyelesaian perselisihan antara buruh dan perusahaannya, terbatas. Pasalnya, kewenangan penuh terdapat di PHI.
"Sebetulnya gini kalo saat ini Disnaker dalam menyelesaikan masalah di mediasinya hanya memberikan tiket saja, oh ini sudah ada Bipartit, masuk ke mediasi. Dikeluarkan anjuran ke PHI , hanya gitu saja. Jadi tidak ada penyelesaian masalah di tingkat dinas ketenagakerjaan," jelasnya.
Hal ini disebabkan oleh Undang-Undang (UU) Nomor 2 tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Dalam UU tersebut kata Hardiansyah proses peradilan penyelesaian perselisihan hubungan industrial dilakukan dengan sederhana dan cepat.
"Itu kan enggak rasional , faktanya gak rasional bahkan panjang sekali (proses peradilan penyelesaian perselisihan hubungan industrial)," tuturnya.
Hal ini berbeda bila dibandingkan dengan sebelum adanya UU tersebut. Bahwa Disnaker dalam memberikan keputusan terkait perselisihan buruh dan perusahaan.
"Kalo dulu Disnaker bisa memutus kalo saat ini dia hanya menghantarkan saja. Bicara kinerja Disnaker itu bekerja berdasarkan UU sehingga dia Karena tidak diberikan untuk memutus yang tidak bisa berbuat apa-apa seperti macan ompong," jelasnya.
Dia mengungkapkan kalau dalam perselisihan dengan perusahaan, posisi buruh lemah. Hal ini berdasarkan sejumlah perkara yang ditangani oleh SPSI.
"Sangat jauh dari kata keadilan intinya muara penyelesaian masalah muaranya keadilan, tapi saat ini sangat jauh dari keadilan. Karena posisi buruh saat ini lemah tidak ada perlindungan dari pemerintah dalam bentuk regulasi," pungkasnya.