ERA.id - Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) meminta kepada semua orang tua untuk mewaspadai anak terkena kecacingan yang dapat menjadi penyebab stunting karena mengganggu penyerapan asupan gizi anak secara optimal.
“Jadi lindungi anak-anak kita agar tetap jadi generasi unggul dan tidak digerogoti cacing. Investasi itu harus bagus jangan cacing,” kata Ketua Pengurus Pusat IDAI Pimprim Basarah Yanuarso dalam Media Brief Kecacingan Pada Anak yang diikuti secara daring di Jakarta, Jumat (3/2/2023).
Piprim menuturkan kecacingan merupakan salah satu jenis penyakit parasit, yang masuk dalam kategori Penyakit Tropis Terabaikan (NTD). Kejadian kecacingan juga sudah banyak ditemukan sejak ratusan tahun lalu.
Ketika seorang anak menderita kecacingan, terdapat sebuah cacing yang masuk ke dalam tubuh dan menjadi parasit. Cacing itu akan menggerogoti nutrisi serta berbagai zat gizi lainnya, sehingga kebutuhan gizi anak menjadi tidak terpenuhi.
Akibatnya, anak berpotensi terkena anemia dan berakhir terkena stunting. Sebab, nutrisi yang diambil secara terus menerus mampu membuat anak masuk ke dalam kondisi malnutrisi kronis.
Dampak lebih lanjut yang Piprim sebutkan adalah karena terkena anemia dan stunting, IQ atau kemampuan intelektual anak di sekolah menjadi berkurang. Anak tidak dapat fokus mengikuti pembelajaran sehingga menurunkan daya saing.
“Kecacingan juga bisa membuat sumbatan usus. Ada juga yang tidak bisa BAB karena ususnya tersumbat cacing dalam jumlah besar, tentu saja kita tidak ingin ini terjadi pada anak-anak kita,” ujar Pimprim.
Sayangnya, masih banyak pihak yang mengabaikan kecacingan. Kecacingan sangat berkaitan dengan sanitasi bersih dan higienis. Meski menjadi parasit, kecacingan pada anak bisa dicegah.
Salah satunya melalui Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) berupa cuci tangan teratur sebelum makan, potong kuku atau Buang Air Besar (BAB) pada tempatnya. Terlebih selama pandemi, Pimprim menilai seharusnya kecacingan dapat semakin dicegah karena pandemi mengajarkan pengetatan protokol kesehatan melalui penggunaan masker.
Dengan demikian dirinya berharap tidak ada satupun pihak yang menyepelekan kecacingan, sehingga kualitas generasi masa depan tetap unggul dan memiliki daya saing tinggi.
Sementara itu, Anggota UKK Infeksi Tropik IDAI Ayodhia Pitaloka Pasaribu membenarkan jika infeksi kecacingan yang berulang amat mempengaruhi tumbuh kembang anak.
Terlebih jika infeksi sudah terjadi sejak awal kehidupan. Umumnya, jenis cacing yang paling banyak menginfeksi anak di Indonesia adalah sejenis cacing tambang bernama Necator Americanus.
Adapun gejala kecacingan yang muncul bisa berupa kurang nafsu makan, lesu dan perut anak menjadi buncit. Berat badan anak dapat menurun dan diikuti dengan rasa nyeri perut, mual-mual, muntah.
“Bisa juga diare atau sembelit. Ini juga bisa keluar cacing dari mulut atau dubur anak, kadang disertai gatal di sekitar anus,” katanya.
Sedangkan bagi penanggulangan kecacingan dalam jangka pendek, Ayodhia menjelaskan dapat dicegah dengan mulai mengurangi prevalensi infeksi cacing dengan membunuh cacing tersebut melalui pengobatan. Sementara bagi jangka panjang perbaikan lingkungan dapat dilakukan, mengingat infeksi kecacingan ditularkan melalui tanah. (Ant)