ERA.id - Penerapan sistem pemilu terbuka dan tertutup masih berpolemik menurut pengamat politik Universitas Hasanuddin Makassar, Andi Ali Armunanto. Baginya, di satu sisi, penerapan pemilu tertutup akan memicu gejolak di sebagian masyarakat. Sebagiannya memilih untuk terbuka.
“Saya rasa yang terganggu adalah aktivis-aktivis demokrasi mungkin karena bentuk ketidakpercayaan kepada parpol sehingga mereka lebih cenderung untuk memilih sistem pemilu proporsional terbuka,” kata Ali kepada ERA saat dikonfirmasi, Selasa (14/3/2023).
Ali mencontohkan persoalan ini sebenarnya sama dengan perdebatan sistem pemilihan kepala daerah yang dipilih langsung atau dipilih oleh DPR.
“Karena kan ini persoalannya kemudian adalah ketidakpercayaan masyarakat dengan parpol dan elite-elite partai, sehingga kemudian mereka lebih yakin kalau mereka bisa pilih nama,” ucap Ali.
Bila sistem pemilu terbuka yang diterapkan menurut Ali, masyarakat akan lebih cenderung memilih melalui pendekatan emosional dan personal. Bukan membentuk kepercayaan kepada partai sebagai institusi. Berbeda bila yang diterapkan adalah pemilu tertutup.
“Ini yang terjadi. Tapi kalau sebenarnya secara teknis, yang lebih mudah dan efisien dilakukan itu adalah proporsional tertutup. Kan orang tinggal pilih gambar, artinya surat suara jadi lebih sederahana, lebih kecil, lebih user frendly, yang penting kenal gambarnya orang bisa mencoblos,” tutur Ali.
Namun penerapan sistem pemilu tertutup tidak akan berjalan dengan baik bila partai tidak transparan dan tidak profesional dalam segala hal, termasuk pengeloaan hingga proses rekrutmen.
Dalam posisi ini, kata Ali, partai tidak bisa mencari cela. Justru partai bertanggungjawab untuk membangun kepercayaan.
“Inikan yang kita takutkan dalam sistem proporsional tertutup. Bahwa misalnya banyak yang ujuk-ujuk anak ketua partai, ponakan ketua partai bisa langsung jadi anggota DPR, karena adanya sistem nomor urut. Karena profesionalitas partai setelah era reformasi justru itu merosot,” ungkap Ali.
Bila partai tidak bisa melaksanakan itu, maka pemilu terbuka yang lebih baik dilaksanakan. “Karena kolusi, korupsi, dan nepotisme itu masih sangat kuat dalam sistem kepartaian kita. Makanya sebagian masyarakat kita menolak sistem proporsional tertutup karena partai-partai yang tidak profesional,” tegas Ali.
Lebih lanjut, kata Ali, penerapan sistem pemilu tertutup bisa maksimal bila KPU atau ada lembaga independen yang dibentuk untuk mengaudit semua partai. Ia yakin, dengan begitu, tidak akan ada lagi kelompok masyarakat yang kemudian menolak pemilihan tertutup. Partai ditekankan untuk bersikap profesional dan transparan.
“Kalau misalnya ada jaminan KPU bisa melakukan audit atau ada lembaga yang ditunjuk untuk mengaudit parpol, mulai dari proses organisasinya, visi-misinya, sampai dengan implementasi dan program parpol dan rekrutmennya, bisa diaudit dan hasilnya disebarkan ke publik, saya rasa tidak akan ada yang menolak sistem proporsional tertutup ini,” imbuh Ali.