ERA.id - Polarisasi sudah terjadi menurut hasil Survei Nasional yang dilakukan oleh Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia (UI).
Salah satu upaya untuk mengatasinya, menurut Ketua Lakpesdam PBNU Ulil Abshar Abdallah, adalah dengan mengimbau kepada pemengaruh (influencer) agar tidak ikut dalam kontenstasi politik tersebut.
Ia menyarankan para influencer puasa menahan diri tidak turun dalam acara dukung mendukung, melainkan justru mendinginkan suasana.
“Saya mengajurkan tokoh-tokoh bisa disebut sebagai influencer itu sebaiknya tidak ikut terlibat dalam poltik dukung mendukung,” kata Ulil.
Berbeda pendapat dengan Ulil, Direktur Eksekutif Indo Barometer M. Qodari khawatir saran Ulil tidak dijalankan oleh para influencer, karena ada contoh ulama yang mendukung calon.
Qodari memberikan saran paling fundamental yakni mengubah desain konstitusi, yakni pemenang pilpres cukup mayoritas sederhana dengan 40 persen ataupun 35 persen suara dalam satu putaran.
Menurut Qodari, aturan mengenai pemenang pemilu presiden harus 50 persen plus 1 menjadi persoalan terjadinya polarisasi. Dengan aturan tersebut, maka calon dipaksa menjadi dua kubu, karena sangat sulit bagi calon manapun untuk menang dalam satu putaran.
Karena pemilihan diikuti multi partai, bila ada tiga calon dengan kekuatan relatif sama, sulit untuk bisa mencapai 50 persen plus satu dalam satu putaran. Yang pada akhirnya dibuat dua putaran.
Jika ini terjadi, maka akan mengalami pembelahan dan polarisasi yang terjadi dengan dimensi keagamaan.
“Menurut dari kaca mata ilmu politik saya, salah satu penyebab pengutuban yang ekstrem itu adalah desain konstitusi atau desain aturan, dan itu harus diubah, kalau itu konstitusi lewat amandemen UU 1945,” kata Qodari.