ERA.id - Presiden Joko Widodo kembali menjelaskan maksud ucapannya yang menyatakan hendak ikut campur di Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Dia menuturkan, cawe-cawe yang akan dilakukannya itu berkaitan dengan tanggung jawab moral dirinya selaku kepala negara.
Hal itu disampaikan dalam konferensi pers udai menghadiri Rapat Kerja Nasional (Rakernas) III PDI Perjuangan di Sekolah Partai PDIP, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Selasa (6/6/2023).
"Cawe-cawe sudah saya sampaikan bahwa saya cawe-cawe itu menjadi kewajiban moral. Menjadi tanggung jawab moral saya sebagai presiden dalam masa tansisi kepemimpinan nasional 2024," ujar Jokowi.
Dia mengatakan, sebagai kepala negara, dirinya wajib menjaga pelaksanaan Pemilu 2024 serentak berjalan dengan dengan baik. Jangan sampai pesta demokrasi lima tahunan ini diwarani dengan riak-riak yang membahayakan bangsa dan negera.
"Harus menjaga agar kepemimpinan nasional serentak, pilpres bisa berjalan baik tanpa ada riak-riak yang membahayakan negara dan bangsa," kata Jokowi.
Dia menegaskan, tidak mungkin seorang kepala negara hanya berdiam diri ketika melihat adanya ancaman yang berpotensi menyebabkan pemilu tidak berjalan dengan baik.
Namun, Jokowi tak menjelaskan lebih lanjut apa saja riak-riak yang membahayakan terselanggaranya Pemilu 2024.
"Masa (ada) riak-riak yang membahayakan bangsa saya suruh diam, kan enggak lah," tegas mantan Gubernur DKI Jakarta itu.
Diketahui, Presiden Joko Widodo bertemu dengan para pemimpin redaksi (pimred) media massa dan juga pegiat media di Istana Merdeka Jakarta.
Para pimred tersebut mengobrol dengan Presiden jokowi selama sekitar 2 jam dengan ditemani Menteri Serketariat Negara Pratikno dan juga Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden, Bey Machmudin.
Dalam pertemuan itu, Jokowi mengaku akan ikut cawe-cawe politik di Pemilu 2024. Namun, langkahnya ini bukan untuk kepentingan pribadi maupun golongan, melainkan untuk memastikan pembangunan di pemerintahannnya saat ini dilanjutkan oleh kepala negara berikutnya.
Pernyataan Jokowi itu belakangan menjadi polemik. Sejumlah pihak menuding bahwa mantan wali kota Solo itu tak netral dan menyimpan maksud tersembunyi.