ERA.id - Ketua Kamar Tata Usaha Negara (TUN) Mahkamah Agung (MA), Yulius, mengingatkan agar kondisi aset yang diserahkan obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) harus bebas dari masalah.
Hal itu sebagaimana tertera dalam mekanisme Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) yang ditandangani pemerintah dengan pemegang saham pengendali (PSP) bank penerima BLBI.
“Sesuai dengan MSAA, semua aset yang diserahkan ke negara wajib clear and clean, tidak boleh ada yang bermasalah,” katanya saat menghadiri acara Focus Group Discussion (FGD) Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI (Satgas BLBI) di Hotel Hilton, Bandung (27/7/2023).
Merujuk mekanisme MSAA, PSP bank wajib membuat pernyataan mengenai kondisi aset yang diserahkan (disclosure), juga pernyataan yang menjamin tidak adanya masalah pada aset tersebut (representation & warranties).
Melalui pernyataan itu para obligor BLBI semestinya tidak menyembunyikan informasi apa pun serta menyampaikan informasi yang sebenarnya.
“Jika aset yang diserahkan ke negara tersebut ternyata tidak clear and clean, maka obligor telah melakukan pembohongan kepada negara,” tegasnya.
Julius menambahkan, tindakan itu bisa dikategorikan sebagai pidana. Negara juga dirugikan karena aset itu tidak tidak bisa dijual.
Karena itu, jaminan atas kebenaran pernyataan obligor sangat penting untuk memastikan kondisi aset benar-benar bersih.
“Sehingga negara betul-betul mendapatkan aset yang bersih dan bisa dijual untuk mengganti kerugian negara,” jelasnya.
Dia lantas menegaskan, siapa pun pengemplang dana BLBI wajib membayar utangnya kepada negara.
“Siapa pun itu ya tanpa pandang bulu,” tandas Yulius.
Seperti diberitakan, berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2021, nilai aset eks BLBI kurang lebih Rp110,45 triliun. Satgas BLBI telah mengamankan aset dan penerimaan negara bukan pajak (PNPB) dengan jumlah aset seluas 3.980,62 hektar dan estimasi nilai sebesar Rp30,65 triliun.
Capaian tersebut baru 27,75 persen dari yang ditargetkan pemerintah. Sejumlah hal menjadi kendala seperti perbedaan hitungan utang antara data pemerintah dengan klaim obligor, hingga informasi keberadaan dan nilai aset.