ERA.id - Alvon Kurnia Palma selaku Koordinator FAPKP mengatakan “terdapat sejumlah Advokat yang tergabung dalam Forum Advokat Pemantau Kecurangan Pemilu (FAPKP) bersepakat untuk membentuk Forum Advokat Pemantau Kecurangan Pemilu (FAPKP) demi menjalankan amanah konstitusi serta cita-cita luhur bangsa yang menganut prinsip kedaulatan rakyat dan mewujudkan pemilu yang jurdil serta bermartabat”.
Pembentukan ini, jelas dia, dilatarbelakangi oleh kekhawatiran dugaan adanya pelanggaran atas prinsip pemilu yang Langsung, Umum, bebas dan Rahasia (LUBER) dan jujur dan adil (Jurdil) atas realitas gegeran penyelundupan hukum yang terdapat dalam Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang saat ini telah diputus oleh Putusan MKMK Nomor 2/MKMK/L/11/2023yang telah terbukti secara sah dan meyakinkan adanya pelanggaran etik berat tidak saja pada satu orang melainkan keseluruhan hakim konstitusi.
“FAPKP memandang perlu untuk melakukan beberapa program pemantauan pemilu jurdil dengan penekanan kepada isu penting tentang netralitas Aparat Penegak Hukum dan Aparatur Sipil Negara. Dalam waktu dekat, kami akan turun ke berbagai wilayah di Indonesia yang menurut kami perlu untuk dipantau secara khusus, diantaranya Jawa Tengah, Banten, Jawa Barat, Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Jawa Timur” Lanjut Alvon.
Sesuai dengan keterangannya “FAPKP akan menurunkan sejumlah Tim ke wilayah-wilayah dimaksud dengan menjalin kerjasama dengan stakeholder di wilayah-wilayah yang akan di tuju salah satunya jaringan Ornops dan Mahasiswa sebagai civil society di wilayah tersebut termasuk tokoh-tokoh lokal yang berpengaruh”.
“Hasil pemantauan yang dilakukan ini akan kami tabulasikan serta kami umumkan ke publik” tegas Alvon.
Saat ini, FAPKP telah berkontribusi dalam memastikan pemilu yang menjalan prinisp LUBER dan JURDIL seperti mendaftarkan Gugatan pembatalan Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum No. 1623 tahun 2023 tentang Penetapan Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Rabu, 06-12-2023, dan telah diregistrasi oleh Mahkamah Agung melalui sistem pendaftaran online atau e-court Mahkamah Agung dengan Nomor Perkara : 637/G/2023/PTUN.JKT karena bertentangan dengan nilai, prinsip dan kaidah hukum sebagaimana negara hukum (rechtstate) adanya.
Alvon juga menambahkan “Gugatan ini diajukan oleh 2 (dua) Pemohon Warga Negara Indonesia, yakni Syukur Destielo Gulo yang berprofesi sebagai calon advokat Muda atau asisten advokat dan seorang Mahasiswa bernama Jhonatan Glen Pirma Panjaitan, keduanya memberikan kuasa kepada Forum Advokat Pemantau Kecurangan Pemilu (FAPKP)”.
Alvon Kurnia Palma menyatakan “pengajuan
gugatan ke PTUN ini tentu sejalan dengan peraturan perundang-undangan, SK KPU adalah Objek TUN dan secara khusus tentu dalam ranah hukum kepemiluan, PTUN diberi kewenangan untuk menanganinya, sebut saja misalkan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945, putusan MK nomor 011-17/PUU-I/2003, pasal 43 ayat 1 dan 2 Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 53 ayat 1 Undang Undang No. 9 tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, kemudian Peraturan Mahkamah Agung No. 5 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan Umum di Pengadilan Tata Usaha Negara”.
Adapun beberapa alasan diajukannya pemohonan ini, FAPKP memandang bahwa KTUN Obyek Sengketa yang dibuat berdasarkan Peraturan KPU No. 23 Tahun 2023 tanpa mempertimbangkan Putusan MKMK No. 2/MKMK/L/11/2023 adalah cacat hukum subtansi dan procedural, KTUN sebagai Objek sengketa yang berkonsekwensi batal demi hukum (nietig) atau setidaknya dapat dibatalkan (vernietig baar) karena melanggar Asas Legalitas, Undang-Undang dan Asas-Asas Pemerintahan Yang Baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) Undang Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Berikutnya SK KPU sebagai Objek TUN tidak berlandaskan pada Asas Legalitas, ketidakberpihakan dan asas kecermatan.
“Gugatan TUN ini juga didasarkan kepada prinsip dasar “Salus Populi Suprema Lex Esto bahwa “Keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi” . Ini sangat relevan dengan kondisi pemilu di Indonesia yang diduga ada kepentingan yang berkelindan, bergumul dan saling tarik menarik yang merugikan rakyat, jika mengacu kepada Pasal 470 dan Perma No.5 Tahun 2017 diatas, maka limitasi ranah dan subjek yang sangat ketat, hanya memberikan ruang kepada Peserta, Penyelenggara dan Calon peserta yang dianulir kepesertaannya dalam pemilu, sangat mencidrai hukum dan cita-cita Indonesia sebagai Negara hukum sebagaimana UUD NRI 1945 yakni Konstitusi kita” jelas Alvon.
“Bahwa hak setiap warga negara sebagai rakyat berhak untuk meminta kepada pengadilan sebagai arena pertarungan (koloseum) ide dan gagasan mewujudkan tujuan hukum yang hakiki guna menciptakan keadilan, meskipun ada pembatasan (Restriction) kategori pihak pengajuan sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Bawaslu Nomor 9 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Pengelesaian Sengketa Proses Pemilu dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2017 tentang tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan Umum yang secara hakiki bertentangan dengan nilai dasar kemanfaatan hukum yang memberikan keadilan. Rakyat dapat sebagai pihak (memiliki legal standing) dikala adanya pengkhianatan pelaksanaan Negara hukum dalam pelaksanaan tahapan proses pemilu adalah seluruh pihak yang berkepentingan (peserta pemilu dan penyelenggara) mendiamkan peristiwa kecurangan pemilu yang meruntuhkan pemilu sebagai pilar berdemokrasi” tutur Alvon.
“Oleh karena itu, ke 2 Pemohon ini, yang mereka adalah Warga Negara Indonesia yang telah terdaftar sebagai pemilih, harus dinyatakan sebagai pihak dalam perkara ini” tegas Alvon.