Sekjen PDIP Hasto Sebut Kecurangan Pilpres 2024 Berpotensi Diadaptasi di Pemilu 2024

| 18 Mar 2024 07:00
Sekjen PDIP Hasto Sebut Kecurangan Pilpres 2024 Berpotensi Diadaptasi di Pemilu 2024
Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto. (Era.id/Gabriella Thesa)

ERA.id - Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menduga, pratik kecurangan dalam proses Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 bakal kembali terjadi di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024.

Awalnya dia menjelaskan bahwa Pemilu 2024 merupakan kombinasi sukses antara Pemilu 1971 dan Pemilu 2009.

"(Pemilu) 2024 terbukti, katakanlah quote and quote sukses. Akan coba direplikasi di dalam pilkada, di dalam pemilu yang akan datang sama yang akan terjadi pada tahun 1971," kata Hasto dikutip dalam wawancara dengan salah satu stasiun televisi, Senin (18/3/2024).

Menurutnya hal itu bisa saja terjadi jika melihat masih ada pihak yang memaksakan Pilkada Serentak 2024 digelar pada September mendatang.

Meskipun Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan bahwa Pilkada Serentak 2024 harus digelar sesuai jadwal. Artinya, dilaksanakan pada November mendatang.

"Meskipun MK sudah memutuskan November, akan dicoba lagi untuk diadakan di bulan September. Ini kan arogansi kekuasaan," kata Hasto.

Menurutnya, jika hal itu terjadi, maka akan mereduksi nilai-nilai demokrasi. Begitu juga perjuangan PDIP terhadap proses kaderisasi akan menjadi sia-sia.

Sebab, semua pihak saat ini mulai beranggapan bahwa pemilu hanya sekedar mencari elektoral saja.

"Untuk menjadi partai elektoral, maka Mas Kaesang dijadikan ketum PSI tanpa melalui sebuah proses kaderisasi. Dan sekarang muncul wancana bagaiaman Pak Jokowi atau mas Gibran itu menjadi ketua umum Partai Golkar. Ini kan kemudian menimbulkan persoalan terkait dengan kaderisasi, terkait dengan pelembagaan partai," paparnya.

Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menilai, MK tak pernah membuat putusan bahwa Pilkada serentak 2024 harus dilaksanakan pada 27 November mendatang.

Menurutnya, putusan MK terkait jadwal pilkada merupakan kebijakan hukum terbuka atau open legal policy.

"Ini bersifat open legal policy. Open legal policy itu apa? Tidak ada batu uji di dalam UUD 45 yang menyatakan tentang tanggal Pilkada. Itu diserahkan kembali kepada pembuat undang-undang. Apakah itu mau di September (atau November)," kata Tito di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (13/3).

Oleh karena itu, dia mengembalikan tindak lanjut atas putusan MK itu kepada DPR RI selaku pembentuk undang-undang. Sebab, revisi UU Pilkada merupakan inisiatif parlemen.

"Ya, kalau tidak dibahas, berarti mereka sepakat November. Kita ikut-ikut aja, fine-fine aja," pungkasnya. 

Rekomendasi