ERA.id - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) jelang akhir pekan merosot akibat memanasnya konflik Iran dan Israel yang menyebabkan para pedagang beralih ke aset safe haven seperti dolar AS.
Pada akhir perdagangan Jumat, kurs rupiah ditutup meningkat 81 poin atau 0,50 persen menjadi Rp16.260 per dolar AS dari sebelumnya sebesar Rp16.179 per dolar AS.
"Pedagang mengalihkan pandangan terhadap aset safe haven mata uang yaitu dolar AS," kata analis Finex Brahmantya Himawan, dikutip Antara, Jumat (19/4/2024).
Brahmantya menuturkan saat ini tren penguatan dolar AS masih terlihat, sehingga rupiah berpotensi akan terdepresiasi lebih lanjut.
Selain konflik geopolitik, Finex mengatakan pelemahan rupiah juga dipengaruhi oleh pemangkasan suku bunga kebijakan AS yang berpotensi tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Hal itu dikarenakan target inflasi AS masih jauh dari target Bank Sentral AS atau The Fed sebesar 2 persen sementara data ekonomi AS masih cukup solid.
Beberapa rilisan angka fundamental penting AS yang mendukung kekokohan dolar AS, di antaranya berupa angka inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) Maret 2024 secara bulanan naik menjadi 0,4 persen dari perkiraan 0,3 persen.
Sedangkan angka IHK periode tahunan juga meningkat menjadi 3,5 persen dari periode sebelumnya yang hanya 3,2 persen.
Ketua The Fed Jerome Powel masih menanti isyarat dan angka inflasi mengarah ke 2 persen. Angka penjualan ritel AS yang naik menjadi 0,7 persen jauh di atas perkiraan hanya 0,4 persen, serta klaim pengangguran yang cenderung berkurang, mengukuhkan penguatan dolar AS terhadap rupiah.
Jeda pemangkasan suku bunga yang tidak akan terjadi dalam waktu dekat oleh The Fed, karena inflasi tidak mencapai target membuat mata uang lain di seluruh dunia, tidak hanya rupiah melemah terhadap dolar AS.
Kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia pada Jumat turun ke level Rp16.280 per dolar AS dari sebelumnya sebesar Rp16.177 per dolar AS.