ERA.id - Sejumlah guru besar, akademisi, ahli hukum tata negara, mahasiswa, hingga aktivis 1998 menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (22/8/2024). Mereka mengutuk DPR RI yang berupaya menggagalkan putusan MK.
Massa mulai memadati lokasi sekitar pukul 10.00 WIB dengan membawa sejumlah poster berisi dukungan mereka terhadap MK dan mengutuk DPR RI yang berupaya menggagalkan putusan tersebut. Tampak sejumlah polisi mengamankan sekitar Gedung MK.
Sebelum orasi dilangsungkan di depan Gedung MK, para pengunjuk rasa melakukan konferensi pers di ruang serbaguna. Beberapa peserta yang hadir antara lain budayawan Goenawan Mohamad; politikus Wanda Hamidah; Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Sulistyowati Irianto; dan pakar hukum tata negara Zainal Arifin Mochtar.
Dalam kesempatan tersebut, mereka memberikan surat kepada MK yang berisi empat pernyataan sikap forum guru besar, akademisi, civil society, dan aktivis pro demokrasi, dan aktivis 1998.
"Satu, telah terjadi pelanggaran secara sistematis terhadap konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 oleh penguasa yang telah menjalankan kekuasaan secara otokratik dan korup," ujar Prof. Sulis membacakan surat pernyataan sikap mereka.
Kedua, memberikan dukungan kepada putusan MK yang pro demokrasi, baik putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 maupun Nomor 70/PUU-XXII/2024.
"Tiga, Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi dan demokrasi harus berdiri tegak untuk menjunjung tinggi konstitusi dan menegakkan demokrasi," lanjut Sulis.
Terakhir, mereka siap terus bergerak demi menyelamatkan demokrasi, menyelamatkan rakyat banyak, dan Republik Indonesia.
"Demikian pernyataan ini kami buat demi tegaknya demokrasi dan konstitusi," tutup Sulis.
Sementara itu, Zainal Arifin menilai MK telah insaf setelah mengeluarkan putusan Nomor 90/PUU/XXI/2023 yang telah meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden tahun lalu. Karena itu, kini masyarakat mendukung MK yang telah menegakkan konstitusi dan demokrasi kembali.
Ia lalu memperingatkan penguasa agar jangan mencoba membodoh-bodohi rakyat.
"Janganlah mencoba menipu kita dua kali lagi. Cukuplah sekali saya kira kita di pilpres, jangan diulangi lagi di pilkada. Jangan sampai pengulangan itu terjadi," tegasnya.
Kemudian, ia meminta mereka menghentikan kebiasaan untuk merasa paling sok tahu dalam demokrasi, karena setiap orang punya persepsi dan pandangan masing-masing.
"Kita berkumpul di sini, lagi-lagi bukan atas nama Ahok, bukan atas nama Anies, bukan atas nama siapa pun. Kita berkumpul di sini atas nama masa depan demokrasi. Saya yakin, mau tua dan mau muda, beberapa tahun akan datang demokrasi Indonesia akan kita titipkan ke anak cucu kita kelak. Apa yang akan kita titipkan ke mereka, kalau kita tidak berdiri di sini bersama-sama untuk melawan kepongahan di republik ini," tandasnya.
Setelah konferensi pers, ratusan peserta aksi berkumpul di undakan tangga depan Gedung MK untuk melakukan orasi. Terdengar berkali-kali seruan "Turunkan Jokowi, turunkan dinasti" dan "Selamatkan demokrasi". Sebuah spanduk hitam besar dibentangkan, bertuliskan: "Awas Pencoleng Demokrasi!"
Aksi di Gedung MK itu ditutup setelah azan Zuhur berkumandang. Koordinator lapangan menyerukan kepada seluruh peserta aksi untuk melanjutkan perjuangan mereka di tempat-tempat lain, seperti Kantor DPR dan bergabung bersama massa aksi yang sedang berjuang di luar.