Soroti Kasus Mardani Maming, Akademisi UII: Keadilan Itu yang Dicari Kebenarannya

| 01 Nov 2024 08:32
Soroti Kasus Mardani Maming, Akademisi UII: Keadilan Itu yang Dicari Kebenarannya
Mardani Maming. (Ist)

ERA.id - Kasus gratifikasi dan suap yang menyeret Mardani H Maming menuai banyak kontroversi, kaca mata guru besar dan akademisi hukum melihat perkara tersebut sangat minim fakta hukum.

Perkara yang menjerat Mardani ini menyoal perizinan tambang. Di mana perizinan itu sejatinya telah melalui kajian di daerah hingga pusat.

Bahkan, IUP yang dikeluarkan telah mendapatkan sertifikat clear and clean (CNC) dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) selama 11 tahun.

Diketahui dari fakta persidangan, proses peralihan IUP ini juga telah mendapatkan rekomendasi dari kepala Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Tanah Bumbu yang menyatakan bahwa proses tersebut sudah sesuai dengan aturan undang-undang yang berlaku, ditambah paraf dari Sekda, Kabag Hukum, dan Kadistamben

Akademisi yang cukup lantang membicarkan minimnya fakta tersebut adalah praktisi hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Dr Muhammad Arif Setiawan.

Berdasarkan kajian yang dilakukannya, Muhammad Arif mengatakan, seharusnya pada peradilan itu yang dicari bukan siapa yang menang dan kalah, namun keadilan itu yang dicari adalah kebenarannya.

"Sejauh mana Hakim itu benar-benar mengkaji pledoi yang diberikan oleh terdakwa," ungkap Dr Muhammad Arif ketika menjadi pembicara dalam talk show sebuah televisi swasta yang dikutip ERA pada Jumat (1/11/2024).

Arif Setiawan menjelaskan terkait pentingnya kecermatan hakim dalam memutuskan sebuah perkara di pengadilan, agar keputusannya sesuai dengan kaidah hukum.

Hal tersebut menyusul kontroversi yang muncul dalam kasus Mardani, karena putusan hakim tidak mempertimbangkan unsur-unsur penting dalam sebuah perkara di pengadilan.

Dirinya menilai, keputusan hakim yang menjerat mantan Ketua BPP Hipmi tersebut belum memenuhi unsur pidana yang seharusnya dipertimbangkan oleh pengambil keputusan sebelum memvonis sebuah perkara di pengadilan.

"Surat dakwaan itu sebenarnya isinya ada dua yang sangat penting. Pernyataan tentang perbuatan materil yang dilakukan dan pernyataan tentang pelanggaran hukumnya yang dilakukan," ujarnya.

Arif Setiawan menjelaskan, seharusnya penegak hukum cermat dan teliti dalam menganalisis unsur-unsur tersebut, baik itu formil maupun materil. Dengan demikian, keputusan yang diambil dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan dan hukum positif yang berlaku.

"Karena itu, pelanggaran hukum itu mesti pasal apa yang dilanggar. Di situ kan ada, apakah terdakwa melakukan kesalahan berkaitan dengan surat dakwaan itu. Sehingga dengan demikian salah satu yang harus dibuktikan itu unsur-Unsur delik yang disangkakan, terbukti atau tidak," jelasnya.

Menurutnya, bila unsur tersebut tidak terpenuhi, seharusnya pengambil keputusan (hakim) mengadili perkara dan dapat membebaskan terdakwa.

"Unsur delik yang disangkakan itu terbukti atau tidak, itu penting. Kalau tidak terbukti ya tidak bisa dipaksakan," tambahnya mengakhiri.

Hal senada disampaikan Guru Besar Hukum Universitas Diponegoro (Undip) Prof Yos Johan Utama. Menurutnya putusan Hakim yang memidana Mardani sarat dengan kekeliruan.

Berdasarkan kajiannya, mantan Rektor Undip ini mengkritisi penghukuman yang dijatuhkan hakim terkait pasal yang dijeratkan kepada terdakwa Mardani.

Ia menyatakan bahwa keputusan Mardani selaku Bupati terkait pemindahan IUP dari aspek hukum administrasi adalah sah dan tidak pernah dinyatakan batal oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), yang merupakan pengadilan berwenang dalam ranah hukum administrasi.

Apalagi ada keputusan Pengadilan Niaga yang sudah inkrah dan menyatakan itu murni hubungan bisnis dan bukan merupakan kesepakatan diam-diam.

Rekomendasi