ERA.id - Keputusan pemerintah menaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 menjadi polemik. Muncul kritikan dan aspirasi agar kebijakan tersebut dibatalkan atau seminimalnya ditunda.
Pemerintah kerap menjadikan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) sebagai alasan menaikan PPN menjadi 12 persen. Namun apakah pemerintah tak punya alternatif lain untuk menyikapi polemik tersebut?
Menurut Direktur Eksekutif The Prakarsa, Ah Maftuchan, Presiden Prabowo Subianto sangat bisa menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu), untuk membatalkan kenaikan PPN sesuai amanat UU HPP.
"Dasar PPN 12 persen adalah UU HPP, maka Presiden dapat mengeluarkan Perppu untuk penundaan dan atau pembatalan," kata Maftuchan kepada ERA, Senin (23/12/2024).
Dia menegaskan, sama sekali tak ada halangan bagi Prabowo untuk menerbitkan Perppu jika serius ingin membatalkan kenaikan PPN. Sebab sesuai dengan konstitusi yang tercantum dalam Pasal 22 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Terlebih, sudah muncul banyak desakan dan aspirasi dari masyarakat agar kenaikan PPN menjadi 12 persen di 2025 dibatalkan. Ditambah lagi pertumbuhan ekonomi Indonesia belum prima.
Dengan alasan itu, menurutnya, sudah lebih dari cukup apabila Prabowo membatalkan kenaikan PPN melalui Perppu. "Nggak ada halangan. Perppu itu hak eksklusif presiden untuk atasi kegentingan," ucap Maftuchan.
"Dengan alasan adanya kegentingan, (seperti) aspirasi publik yang luas, kondisi perekonomian yang masih relatif lesu dan aspek keadilan pajak, Presiden dapat mengeluarkan Perppu," imbuhnya.
Lewat Perppu, Prabowo juga bisa melakukan pengaturan lain. Misalnya, penerapan pajak kekayaan, perluasan basis pajak, dan lain-lain sebagai alternatif lain dari kenaikan PPN.
"Termasuk pengaturan reformasi kelembagaan otoritas pajak. Misalnya pembentukan Badan Penerimaan Negara," ucapnya.
Terpisah, pengamat kebijakan publik Agus Pambagio menilai wajar apabila pemerintah enggan merevisi besaran PPN yang akan diterapkan di 2025. Dia menyebut, pemerintahan Prabowo Subianto sedang butuh banyak dana.
"Pemerintah kan perlu duit," kata Agus kepada ERA.
Di sisi lain, tak salah juga jika pemerintah tetap bersikukuh bahwa PPN di 2025 naik menjadi 12 persen. Terlebih hal itu memang tercantum dalam UU HPP.
Meski begitu, menurutnya, kebijakan pemerintah terkait kenaikan PPN bisa dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pihak yang tak setuju bisa mengajukan Judicial Review (JR). "Ya kan perintah UU, keculi kita JR kan," ucapnya.
Sebagai informasi, pemerintah melalui Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan, keputusan menaikan PPN menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025, semata-mata hanya menjalankn perintah perundang-undangan.
Hal itu memang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Bab IV tentang PPN UU HPP. Disebutkan bahwa tarif PPN dinaikan bertahap, pada 1 April 2022 menjadi 11 persen dan mulai 1 Januari 2025 menjadi 12 persen.
Protes keras datang dari berbagai kalangan masyarakat. Belakangan Presiden Prabowo Subianto menegaskan, kenaikan PPN menjadi 12 persen hanya diberlakukan untuk barang-barang mewah.
"PPN adalah undang-undang, ya kita akan laksanakan. Tapi selektif hanya untuk barang mewah," kata Prabowo di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (6/12).
Dia memastikan, pemerintah berkomitemen untuk melindungi rakyat kecil. Menurutnya, sudah sejak akhir 2023, pemerintah tak lagi memungut pajak dari sejumlah komoditas.
"Jadi kalaupun (PPN) naik, itu hanya untuk barang mewah," tegasnya.
Belakangan, pemerintah melalui Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Keuangan Sri Mulyani, tak jadi menaikkan PPN terbatas khusus untuk barang mewah. Pemerintah tidak menaikkan pajak bagi tiga barang kebutuhan pokok saja, yaitu tepung terigu, Minyakita, dan gula industri yang tetap dikenakan PPN 11 persen.
Sementara bagi masyarkat kelas menengah yang dinilai paling terdampak dengan kebijakan tersebut hanya memperoleh keringanan berupa potongan PPh 21 khusus pekerja sektor padat karya dengan gaji sampai Rp 10 juta per bulan, serta diskon 50 persen iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) selama enam bulan (Januari-Juni 2025).
Diskon listrik 50 persen untuk pelanggan dengan daya terpasang 450-2200 VA selama dua bulan (Januari-Februari 2025), serta akses program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dan Kartu Prakerja yang lebih mudah bagi korban pemutusan hubungan kerja (PHK).