Cerita Agum Gumelar Soal Penyelewengan ABRI di Jabatan Sipil Awal Mulal Dwifungsi

| 10 Mar 2025 22:00
Cerita Agum Gumelar Soal Penyelewengan ABRI di Jabatan Sipil Awal Mulal Dwifungsi
Agum Gumelar. (Antara).

ERA.id - Ketua Umum Persatuan Purnawirawan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (PEPABRI) Agum Gumelar menegaskan menolak dwifungsi ABRI hidup kembali. Hal itu merespons polemik pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI).

Pernyataan itu disampaikan dalam rapat Komisi I DPR saat pembahasan revisi UU TNI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (10/3/2025).

"Pepabri sangat konsen masalah ini, dan Pepabri menyatakan tidak akan pernah kembali kita menjadi dwifungsi ABRI," kata Agum.

Eks jenderal TNI itu menceritakan awal mula kemunculan dwifungsi ABRI. Menurutnya, hal itu bermula dari penugasan prajurit ABRI di jabatan sipil.

Dia menyebut penugasan itu merupakan bentuk kekaryaan. Penugasaan kekaryaan itu awalnya merupakan permintaan dari masyarakat.

"Nah, petugas kekaryaan ini ada ketentuannya yang harus kita patuhi. Penugasan kekaryaan ini harus didasrkan pada permintaan. Tanpa permintaan tidak ada penugaskekaryaan," kata Agum.

Namun, seiring berjalannnya waktu, penempatan prajurit ABRI di jabatan sipil diselewengkan saat era Orde Baru. Yang awalnya untuk kekaryaan, disalahgunakan untuk kesejahteraan.

Misalnya, ada prajurit ABRI karirnya sudah mentok di pangkat kolonel maka dijadikan bupati, atau prajurit berpangkat brigjen diangkat menjadi dirjen di institusi sipil.

"Yang tadinya ditugaskan seorang perwira ABRI di instansi sipil itu direkayasa, pendekatan terjadi pada saat itu di zaman Orde Baru, menjadi pendepakatan kesejahteraan," kata Agum.

"(Misalnya) kalau (pangkat) kolonel sudah mentok di ABRI, sudahlah dijadikan bupati di sana. Brigjen ini mentok di ABRI, dijadikan direktur atau dirjen di sini, mayjen ini mentok sudahlah jadi gubernur di sana. Jadi tidak ada permintaan. Permintaan itu direkayasa di zaman Orde Baru," paparnya.

Penyelewengan penempatan prajurit ABRI di jabatan sipil memvawa kekecewaan di tengah masyarakat. Puncaknya terjadi di tahun 1998, publik menilai ABRI melakukan dwifungsi.

Agum mengatakan, suka tak suka, TNI saat ini harus mengakui apa yang terjadi di masa lampu adalah kesalahan yang dilakukan institusi ABRI.

"Puncaknya tahun 98 rakyat tidak puas terhadap apa yang terjadi, seolah-olah ABRI ini menempatkan, soalnya inilah dwifungsi ABRI, 'oh tidak ini bukan dwifungsi ABRI, ini penugasan', harus diakui oleh ABRI itu salah," kata Agum.

Oleh karena itu, dia menilai sudah sepantasnya jika rakyat menolak dwifungsi ABRI. Institusi TNI-Polri harus mampu berkaca dari kejadian masa lalu.

"Maka sikap yang paling bijak waktu itu, yang paling bijak, ambil kaca, berkaca di depan kaca yang besar, kenapa kok kita dicaci maki masyarakat," pungkasnya.

Rekomendasi