ERA.id - Keris bukan sekadar senjata pusaka, tapi karya seni penuh makna. Dalam rangkaian Chandi 2025 yang berlangsung pada 3–5 September 2025 di The Meru Sanur, Bali, ada beberapa lokakarya yang dapat diikuti oleh para delegasi, salah satunya adalah Lokakarya Pembuatan Keris. Digelar di halaman luar Bali Beach Convention Hall, lokakarya ini mengajak pengunjung menyaksikan langsung proses penempaan keris sekaligus mengenal makna spiritual di balik setiap guratan logamnya.
Proses pembuatan keris ternyata tidak sederhana. Logam campuran seperti besi, baja, dan nikel dipanaskan hingga pijar lalu ditempa berulang-ulang. Hasilnya adalah bilah dengan guratan indah bernama pamor. Istilah pamor sendiri berarti “awor” atau “mencampur,” simbol perpaduan kosmis antara langit dan bumi, sekaligus pengingat tentang hubungan manusia dengan Sang Pencipta.
Menurut narasumber yang juga merupakan Staf Khusus Menteri Bidang Sejarah dan Pelindungan Warisan Budaya, Basuki Teguh Yuwono, untuk menghasilkan satu bilah keris Bali yang beratnya hanya sekitar 75 gram, bisa dibutuhkan hingga 5–20 kilogram logam. “Bahan yang luruh banyak sekali, jadi hanya sari-sari logam yang benar-benar kuat dan padat yang tersisa,” jelasnya, Kamis kemarin.
Menariknya, suhu penempaan keris bisa mencapai 1.200–1.500 derajat Celsius. Meski terlihat berbahaya, para empu justru bekerja dengan pakaian sederhana karena percikan api lebih aman terkena kulit daripada kain yang bisa terbakar.
Bagi masyarakat Bali, keris punya tempat yang istimewa. Keris dianggap pusaka leluhur, disimpan di pura, dan digunakan dalam berbagai upacara keagamaan. Seni membuat keris tidak bisa dilepaskan dari ritual Hindu di Bali, di mana berkarya seni adalah bagian dari aktivitas spiritual. Membuat keris butuh konsentrasi, kesadaran, dan rasa yang dalam bukan sekadar keterampilan teknis.
Keris sering dilihat hanya dari sisi mistis. Padahal, keris adalah puncak pengetahuan metalurgi yang sudah dikuasai nenek moyang sejak abad ke-8. Teknologi logam, seni, hingga filosofi hidup melebur jadi satu. Tak heran kalau keris kini diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Takbenda Dunia.
Menurut Dr. Restu Gunawan, M.Hum., Direktur Jenderal Pelindungan Kebudayaan dan Tradisi, workshop seperti ini penting agar anak muda makin tertarik. “Selain melestarikan nilai-nilainya, keris juga bisa dikembangkan untuk aspek ekonomi dan pembentukan karakter bangsa,” ujarnya.
Lokakarya ini tidak hanya jadi tontonan menarik, tapi juga ruang belajar. Dari teknik pandai besi, filosofi pamor, hingga makna spiritual, keris diajarkan bukan sebagai benda mati, melainkan sebagai warisan hidup yang terus relevan. Harapannya, generasi muda tidak hanya mengenal keris dari cerita mistis, tapi juga melihatnya sebagai karya seni, simbol budaya, dan inspirasi kreatif masa kini.