ERA.id - Dokter sekaligus ahli gizi Tan Shot Yen murka anak-anak sekolah di beberapa daerah diberi menu Makanan Bergizi Gratis (MBG) burger hingga spageti. Dokter Tan Shit Yen menyebut isi dari burger itu kastanisasi dan rasanya mirip dengan kertas.
Kemarahan dokter Tan Shot Yen itu disampaikan selama Rapat Dengar Pendapat Umum (PDPU) bersama Komisi IX DPR RI, Senin (22/9) lalu. Dokter Tan mulanya mengungkapkan harapan agar anak-anak di daerah bisa diberi menu MBG sesuai dengan masakan khas wilayah sendiri.
"Saya pengin anak Papua bisa makan ikan kuah asam, saya pengin anak Sulawesi bisa makan kapurung," tutur dokter Tan.
Namun sayangnya menu makanan yang dibagikan kepada para siswa di sekolah-sekolah daerah jauh dari harapannya. Para siswa justru diberi makanan berupa burger hingga olahan spageti.
"Yang dibagi adalah burger. Di mana tepung terigu tidak pernah tumbuh di bumi Indonesia, nggak ada anak muda yang tahu bahwa gandum tidak tumbuh di bumi Indonesia," tegasnya.
"Dibagi spageti, dibaki bakmi Gacoan, oh my god," imbuhnya dengan wajah kesal.
Bukan hanya itu saja, dokter Tan juga menyoroti isi dari burger yang dibagikan kepada para siswa. Menurutnya, isian dari menu MBG burger itu memiliki kasta yang berbeda-beda tergantung wilayah.
"Maaf ya, itu isi burgernya itu kastanisasi juga. Kalau yang dekat dengan pusat supaya kelihatan bagus dikasih chicken katsu," sindirnya.
Selain itu, ia juga menyoroti Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang nakal dalam menyajikan menu burger untuk MBG. Menurutnya isian daging tipis berwarna pink yang ditemukan di menu MBG mirip dengan rasa karton atau kertas.
"Saya aja nista bilang itu daging olahan, saya nggak tahu itu produk apaan. Itu rasanya kayak karton, warnanya pink dan buat lucu-lucuan nih. Lalu anak-anak disuruh, oke, do it your own, DIY. Susun, ada sayurnya. Astaga, kan bukan itu tujuan MBG, punten," tegasnya.
Lebih lanjut, dokter Tan pun mempertanyakan sampai kapan Tindakan seperti ini akan terus dilanjutkan di sejumlah wilayah Indonesia yang mendapat MBG. Ia pun menekankan sebagai penyedia MBG, SPPG tidak semestinya mengikuti permintaan anak-anak tanpa memikirkan pemenuhan gizi seimbang.
"Mau sampai kapan makannya burger, gitu, lo. Ya, jadi saya setuju bahwa ada anak yang tidak suka dengan pangan lokal karena mereka tidak terbiasa, tapi bukan berarti lalu request anak-anak lalu dijawab oleh dapur, ya wislah.... Kalau request-nya cilok? Mati kita," pungkasnya.